Friday 7 June 2019

Shaming

#30HariMenulis2019_Hari_7

Tema : Tulislah mengenai percakapan yang tidak sengaja Anda dengar
No Peserta : 13

Shaming

Siapa sih yang gak ingin hidup bahagia tanpa kekurangan sama sekali? Baik kekurangan di harta, kekurangan di fisik, atau sekedar ketidakidealan postur tubuh.
Ramadhan telah berlalu, berganti hari raya yang kebanyakan orang yang merayakan menjadi riya. Saat bersilaturrahim, ada banyak ucapan yang menyakiti di hari yang fitri dari kita yang sudah menunaikan fitrah.

Setelah shalat ied selesai, kita mulai mengunjungi sanak saudara, setelah sebelumnya sungkeman dengan orang tua dan suami (bagi yang sudah menikah) masing-masing.

Betapa banyak terdengar ucapan “ sekarang gemukan ya, gak jaga badan deh”
Kata-kata gemuk ini bagi sebagian besar horor loh, termasuk bagi saya. Pernah seseorang curhat ke saya kalau dia dibilang gemuk, gendut walau kalau dilihat dari segi manapun memang gemuk. Artinya, orang yang gemuk sekalipun tetap gak mau dikatakan gemuk.

Bukan cuma gemuk semata, yang terlalu kurus juga pasti gak mau dikatain kurus. Apalagi wanita, setiap kata yang terlontar dari orang lain biasanya terlalu dipikirkan hingga ia pun larut dalam pikirannya.
Apa susahnya sih untuk kita menjaga ucapan agar tak menyakiti orang lain? Sesulit itukah rasa empati ada untuk sekedar menjaga perasaan orang lain? Toh keadaan mereka tidak mengganggu kita. Kenapa jadi kita yang ikutan repot?
Selain disebutkan secara langsung di depan orang yang bersangkutan, dibelakang mereka juga acap kali hal-hal tersebut dibahas. Yang belum dikaruniai anak tak luput juga jadi sasaran.

“Itu si A udah 10 tahun nikah tetap gak isi ya”.
“Iya tuh, gak tau siapa yang mandul.
Kayaknya suaminya, toh kalau wanita yang mandul pasti lakinya udah kawin lagi”. Ibu yang lain menimpali.

Setelah saling makan bangkai tetangga atu saudara karena ghibah, sekarang tersebar pula di lingkungan tempat tinggal bahwa suami si A mandul. Fitnah yang tersebar akibat percakapan tanpa faedah sama sekali

Padahal dari pemeriksaan dokter keduanya baik-baik saja. Mereka cuma belum diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menjaga amanah perihal anak. Lalu apa hak kita menghakimi dan sering bertanya pasal ‘kapan hamil?’. Padahal kita sendiri sudah paham kalau anak itu murni hak Tuhan. Gak bisa langsung semau kita bilang bulan depan hamil, tahun depan, minggu depan atau kapanpun.

Saat berkunjung ke tempat orang yang baru lahiran pun tak luput ucapan menyakiti itu keluar.

“Lia, kok gemukan sih? Iteman lagi. Jaga dong badannya, ntar suami cari lain loh liat istri kayak badut”. Ujar bu Siti.

“Iya tuh, lagian bayinya juga kurus banget. Sok-sokan ngasih ASI, tapi ASI nya pasti gak bergizi. Udah kasih susu aja. Cepet gemuk anaknya”. Tambah bu Mawar.

Lia pun Cuma bisa tersenyum menahan sakit.

Gaes, tahukah kita ibu yang baru selesai melahirkan itu hormonnya belum stabil? Ia baru melewati fase terberat selama kurun waktu kehidupannya. Tak bisakah kita sekedar menjaga ucapan?

Bukan ia tak mau merawat diri. Bayinya baru lahir, masih beradaptasi dengan lingkungan baru, sering nangis dan terjaga tengah malam dan ia harus menenangkannya. Untuk bisa sekedar tidur melepas penat saja sudah buat ia senang.
Tanpa ilmu kita ucapkan ASI tak bergizi. Ini benar-benar menyakiti. Pemeriksaan apa yang sudah kita lakukan sehingga bisa keluar kesimpulan seperti itu? Janganlah komentari hal yang kita sendiri gak punya ilmunya. Tak takutkah kata-kata yang kita ucapkan malah jadi pemicu baby blues syndrome yang berujung pada post partum depression atau malah jadi post partum psicosys?

Baby blues ini memang terjadi di 80% ibu melahirkan dengan tingkatan yang berbeda. Udah jangan ditambah lagi dengan kata-kata menyakitkan. Jika kita tak bisa membantu, jangan menyakiti, jangan menghakimi. Semoga kita bisa tetap menjaga perasaan orang lain. Selalu menanamkan nilai positif di setiap tingkah laku kita. Ingatlah, akan selalu ada balasan untuk kezaliman mulut, ucapan dan tingkah laku kita.


Total kata : 583 kata

0 komentar:

Post a Comment