Wednesday 17 December 2014

Keseimbangan Diet pada Pasien Obesitas



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Obesitas merupakan kondisi dimana terdapat kelebihan akumulasi lemak tubuh sampai pada batas dimana hal tersebut dapat menyebabkan efek yang buruk pada kesehatan seperti penurunan angka harapan hidup dan masalah kesehatan lainnya. Pengukuran yang paling banyak digunakan adalah dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh dimana seseorang dianggap obesitas apabila hasil pengukuran IMT melebihi 25 untuk orang Asia dan 30 untuk orang Eropa.
Prevalensi obesitas pada anak dan remaja semakin meningkat dari tahun ke tahun baik di dunia, di Asia maupun di Indonesia. Prevalensi obesitas di Indonesia menurut data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, penduduk usia 15 tahun atau lebih adalah 10,3%. Tingginya angka obesitas pada usia remaja akan meningkatkan risiko penyakit degeneratif pada usia dewasa. Faktor penyebab terjadinya obesitas pada remaja sebagian besar disebabkan perilaku makan yang salah (tinggi energi, tinggi lemak, rendah serat makanan) dan perilaku hidup (aktivitas fisik yang rendah).



1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari obesitas?
2.      Apa saja tipe-tipe obesitas?
3.      Apa etiologi obesitas?
4.      Bagaimana patofisiologi obesitas?
5.      Apa saja manifestasi klinis dari obesitas?
6.      Apa komplikasi yang timbul pada pasien obesitas?
7.      Bagaimana pengukuran tingkat obesitas?
8.      Bagaimana penatalaksanaan obesitas?
9.      Bagaimana tujuan dan syarat diet pada pasien obesitas?
1.3  Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian dari obesitas.
2.      Mengetahui apa saja tipe-tipe obesitas.
3.      Mengetahui etiologi obesitas.
4.      Mengetahui bagaimana patofisiologi obesitas.
5.      Mengetahui manifestasi klinis obesitas.
6.      Mengetahui komplikasi yang timbul pada pasien obesitas.
7.      Mengetahui tingkat pengukuran obesitas.
8.      Mengetahui tujuan dan syarat diet yang sesuai pada pasien obesitas.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
            Menurut WHO, obesitas didefiniskan sebagai akumulasi lemak yang abnormal atau berlebihan yang berpeluang menimbulkan beberapa risiko kesehatan pada individu. Obesitas adalah kondisi di mana lemak tubuh menumpuk sehingga bisa menimbulkan efek buruk pada kesehatan. Obesitas digolongkan menjadi tiga tingkatan:
-          Obesitas ringan (kelebihan berat badan 20% s/d 40%)
-          Obesitas sedang (kelebihan berat badan 41% s/d 100%)
-          Obesitas berat (kelebihan berat badan lebih besar dari 100%)
Obesitas adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbun lemak yang melebihi 25% dari berat tubuh. Orang yang kelebihan berat badan biasanya (Rimbawan dan Siagian, 2004).
            Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan energy yaitu pemasukan kalori melebihi penggunaannya. Setiap kelebihan makanan yang diserap untuk keperluan energy, akan disimpan sebagai lemak. Sebaliknya masukan energy yang kurang akan mengakibatkan penggunaan simpanan lemak tubuh (Tjokronegoro, 1981).




2.2  Tipe-Tipe Obesitas
Tipe pada obesitas dapat dibedakan menjadi 2 klasifikasi, yaitu Tipe obesitas berdasarkan bentuk tubuh dan Tipe obesitas berdasarkan keadaan sel lemak.
2.2.1         Tipe Obesitas Berdasarkan Bentuk Tubuh
a.       Obesitas tipe buah apel (Apple Shape)
Type seperti ini biasanya terdapat pada pria. dimana lemak tertumpuk di sekitar perut. Resiko kesehatan pada tipe ini lebih tinggi dibandingkan dengan tipe buah pear (Gynoid).
b.      Obesitas tipe buah pear (Gynoid)
Tipe ini cenderung dimiliki oleh wanita, lemak yang ada disimpan di sekitar pinggul dan bokong. Resiko terhadap penyakit pada tipe gynoid umumnya kecil.
c.       Tipe Ovid (Bentuk Kotak Buah)
Ciri dari tipe ini adalah "besar di seluruh bagian badan". Tipe Ovid umumnya terdapat pada orang-orang yang gemuk secara genetik
2.2.2 Tipe Obesitas Berdasarkan Keadaan Sel Lemak
a.       Obesitas Tipe Hyperplastik
Obesitas terjadi karena jumlah sel lemak yang lebih banyak dibandingkan keadaan normal.


b.      Obesitas Tipe Hypertropik
Obesitas terjadi karena ukuran sel lemak menjadi lebih besar dibandingkan keadaan normal,tetapi jumlah sel tidak bertambah banyak dari normal.
c.       Obesitas Tipe Hyperplastik Dan Hypertropik
Obesitas terjadi karena jumlah dan ukuran sel lemak melebihi normal. Pembentukan sel lemak baru terjadi segera setelah derajat hypertropi mencapai maksimal dengan perantaraan suatu sinyal yang dikeluarkan oleh sel lemak yang mengalami hypertropik.
            Penggolongan keadaan kegemukan menurut usia timbulnya, yaitu:
a.       Kegemukan pada Masa Bayi (Infacy Onset Obesity)
Kegemukan pada masa bayi perlu dihindari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari jumlah bayi yang menderita kegemukan pada usia enam bulan pertama ternyata lebih dari sepertiga menjadi gemuk pada usia dewasa.
b.      Kegemukan Yang Timbul pada Masa Kanak-Kanak (Childhood Onset Obesity)
Kegemukan pada masa kanak-kanak disebabkan oleh perilaku makan yang salah dan kurangnya aktivitas fisik. Kelebihan lemak itu timbul pada usia 2 tahun sampai usia remaja (pubertas).


c.       Kegemukan pada Masa Dewasa (Adult Onset Obesity)
Kelompok ini sering ditemukan pada kegemukan yang timbul pada masa kanak-kanak. Lemak tubuh yang berlebihan mulai menumpuk paling sering antara 20-3- tahun pada saat seseorang mulai mantap dalam karirnya. Karena kesibukan-kesibukan menyebabkan kurangnya waktu untuk melaksanakan olahraga. Bila kurang berhati-hati, kegemukan akan mengintai pada usia ini.
2.3  Etiologi
2.3.1                       Faktor Genetik
Parental fatness merupakan faktor genetik yang berperanan besar. Bila kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas; bila salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi menjadi 14%.5.
Hipotesis Barker menyatakan bahwa perubahan lingkungan nutrisi intrauterin menyebabkan gangguan perkembangan organ-organ tubuh terutama kerentanan terhadap pemrograman janin yang dikemudian hari bersama-sama dengan pengaruh diet dan stress lingkungan merupakan predisposisi timbulnya berbagai penyakit dikemudian hari. Mekanisme kerentanan genetik terhadap obesitas melalui efek pada resting metabolic rate, thermogenesis non exercise, kecepatan oksidasi lipid dan kontrol nafsu makan yang jelek. Dengan demikian kerentanan terhadap obesitas ditentukan secara genetik sedang lingkungan menentukan ekspresi fenotipe.
2.3.2                       Gangguan Metabolisme
1)      Resistensi insulin
Pada obesitas sering ditemukannya hiperinsulininemi disertai hiperglikemia, hal ini diduga karena resistensi insulin pada sel-sel target. Karena itu sering dijumpai adanya diabetes melilitus pada obesitas.
2)      Hiperlipoproteinimia
Total kolesterol tubuh meningkat akibat obesitas. Akibatnya, turnevor kolesterol juga meningkat menyebabkan eksresi kolesterol biliaris meningkat. Hal ini akan manaikkan angka kejadian pembentukan batu empedu.
2.3.3        Adanya Gangguan Regulasi di Pusat Hipotalamus
Pusat lapar terletak pada ventrolateral hipotalamus, sedangkan pusat kenyang terletak pada ventromedial hipotalamus. Dari pusat lapar akan dikirim isyarat ke korteks serebri. Dalam keadaan normal, isyarat ini akan dihambat oleh rangsangan yang berasal dari pusat kenyang karena pengaruh distensi lambung, plasma glukosa, dan insulin atau oleh pengaruh ketokolamin. Apabila terjadi gangguan pada rangsangan ini, maka akan terjadi makan yang berlebihan.





2.3.4        Faktor Lingkungan
a. Aktifitas fisik.
Aktifitas fisik merupakan komponen utama dari energy expenditure, yaitu sekitar 20-50% dari total energy expenditure. Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara aktifitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar = 5 kg.10 Penelitian di Jepang menunjukkan risiko obesitas yang rendah (OR:0,48) pada kelompok yang mempunyai kebiasaan olah raga, sedang penelitian di Amerika menunjukkan penurunan berat badan dengan jogging (OR: 0,57), aerobik (OR: 0,59), tetapi untuk olah raga tim dan tenis tidak menunjukkan penurunan berat badan yang signifikan. Penelitian terhadap anak Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama menunjukkan bahwa mereka yang nonton TV = 5 jam perhari mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dibanding mereka yang nonton TV = 2 jam setiap harinya.
b.      Faktor Nutrisional
Peranan faktor nutrisi dimulai sejak dalam kandungan dimana jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi berat badan ibu. Kenaikan berat badan dan lemak anak dipengaruhi oleh : waktu pertama kali mendapat makanan padat, asupan tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak5 serta kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung energi tinggi.
Penelitian di Amerika dan Finlandia menunjukkan bahwa kelompok dengan asupan tinggi lemak mempunyai risiko peningkatan berat badan lebih besar dibanding kelompok dengan asupan rendah lemak dengan OR. Penelitian lain menunjukkan peningkatan konsumsi daging akan meningkatkan risiko obesitas sebesar 1,46 kali. Keadaan ini disebabkan karena makanan berlemak mempunyai energy density lebih besar dan lebih tidak mengenyangkan serta mempunyai efek termogenesis yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak mengandung protein dan karbohidrat. Makanan berlemak juga mempunyai rasa yang lezat sehingga akan meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi konsumsi yang berlebihan. Selain itu kapasitas penyimpanan makronutrien juga menentukan keseimbangan energi. Protein mempunyai kapasitas penyimpanan sebagai protein tubuh dalam jumlah terbatas dan metabolisme asam amino di regulasi dengan ketat, sehingga bila intake protein berlebihan dapat dipastikan akan di oksidasi; sedang karbohidrat mempunyai kapasitas penyimpanan dalam bentuk glikogen hanya dalam jumlah kecil. Asupan dan oksidasi karbohidrat di regulasi sangat ketat dan cepat, sehingga perubahan oksidasi karbohidrat mengakibatkan perubahan asupan karbohidrat. Bila cadangan lemak tubuh rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi dari karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Lemak mempunyai kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas. Kelebihan asupan lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga sekitar 96% lemak akan disimpan dalam jaringan lemak.

2.3.5        Faktor Psikologis
Factor psikologis juga merupakan salah satu factor yang menyebabkan obesitas. Beberapa penelitian mempelajari hubungan antara keadaan psikologis dan emosi seseorang dapat menyebabkan perubahan perilaku, bahkan mungkin perilaku yang salah. Seseorang akan mengalami keadaan yang tidak menyenangkan akan Nampak lebih emosi baik sikap atau perilakunya. Jika keadaan tersebut berlaku dalam waktu yang relative lama maka dapat menimbulkan suatu keadaan yang disebut stress. Menurut para ahli, factor tersebut erat kaitannya dengan rasa lapar dan nafsu makan. (Lisdiana, 1997).
2.3.6        Faktor Sosial Ekonomi
Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup, pola makan, serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Suatu data menunjukkan bahwa beberapa tahun terakhir terlihat adanya perubahan gaya hidup yang menjurus pada penurunan aktifitas fisik, seperti: ke sekolah dengan naik kendaraan dan kurangnya aktifitas bermain dengan teman serta lingkungan rumah yang tidak memungkinkan anak-anak bermain diluar rumah, sehingga anak lebih senang bermain komputer / games, nonton TV atau video dibanding melakukan aktifitas fisik. Selain itu juga ketersediaan dan harga dari junk food yang mudah terjangkau akan berisiko menimbulkan obesitas.


2.4  Patofisiologi
Secara umum obesitas dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan kalori yang diakibatkan asupan energy yang jauh melebihi kebutuhan tubuh. Pada bayi (infant), penumpukan lemak terjadi akibat pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu dini, terutama apabila makanan tersebut memiliki kandungan karbohidrat, lemak, dan protein yang tinggi. Pada masa anak-anak dan dewasa, asupan energy bergantung pada diet seseorang.
            Obesitas terjadi karena adanya kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Gangguan keseimbangan energi ini dapat disebabkan oleh faktor eksogen (obesitas primer) sebagai akibat nutrisional (90%) dan faktor endogen (obesitas sekunder) akibat adanya kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik (meliputi 10%). Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses fisiologis, yaitu: pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran energi, dan regulasi sekresi hormon.
            Proses dalam pengaturan penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-sinyal eferen (yang berpusat di hipotalamus) setelah mendapatkan sinyal aferen dari perifer (jaringan adipose, usus dan jaringan otot). Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan rasa lapar serta menurunkan pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat katabolik (anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang. Sinyal pendek mempengaruhi porsi makan dan waktu makan, serta berhubungan dengan faktor distensi lambung dan peptida gastrointestinal, yang diperankan oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator dalam peningkatan rasa lapar. Sinyal panjang diperankan oleh fat-derived hormon leptin dan insulin yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi.
            Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah. Leptin kemudian merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro Peptide –Y (NPY), sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan.
            Penelitian yang dilakukan menemukan bahwa pengontrolan nafsu makan dan tingkat kekenyangan seseorang diatur oleh mekanisme neural dan humoral (neurohumoral) yang dipengaruhi oleh genetik, nutrisi, lingkungan, dan sinyal psikologis. Mekanisme ini dirangsang oleh respon metabolic yang berpusat pada hipotalamus. Mekanisme neurohumoral ini dapat dibagi menjadi 3 komponen.
a.       Sistem Perifer/Sistem Aferen
Merupakan sistem yang menyalurkan sinyal dari berbagai tempat. Komponen utamanya adalah leptin dan adiponektin (dari jaringan adiposa), ghrelin (dari lambung), peptide YY (dari ileum dan colon), serta insulin (dari pankreas).

b.      Nukleus Arkuatus dalam hipotalamus
Merupakan sistem yang memproses dan mengintegrasikan sinyal periferal dan menghasilkan sinyal eferen kepada 2 jenis neuron orde pertama, yaitu (a) POMC (pro-opiomelanocortin) dan CART (cocaine and amphetamine-regulated transcripts) neuron, (b) neuropeptida Y (NPY) dan AgRP (Agouli-relate peptide). Neuron orde pertama ini akan berkomunikasi dengan neuron orde kedua.
c.       Sistem Eferen
Merupakan sistem yang menerima sinyal yang diberikan neuron orde pertama dari hipotalamus untuk mengontrol asupan makanan dan penggunaan energi. Hipotalamus juga berkomunikasi dengan otak depan dan otak tengah untuk mengontrol system saraf otonom.
            Neuron POMC dan CART meningkatkan penggunaan energi dan penurunan berat badan dengan menghailkan MSH (-Melanocyte Stimulating Hormone), serta mengaktifkan reseptor melanokortin nomor 3 dan 4 (MC3/4R) sebagai neuron orde ke-2 sebagai efek anoreksigenik. Sedangkan neuron NYP dan AgRP merangsang lapar (food intake) dan peningkatan berat badan dengan mengaktifkan reseptor Y1/5 pada neuron orde ke-2nya sebagai efek oreksigenik.
Description: C:\Users\MeLer\Desktop\showimage.cfm (1).jpg
Gambar 1. pengaturan keseimbangan energi. Jaringan lemak menghasilkan sinyal aferen yang mengaktifkan hipotalamus untuk mengatur nafsu makan dan kekentyangan. Sinyal ini mengnurunkan intake makanan dan menghambat siklus anabolik, dan mengaktifkan pemakaian energi dan mengaktifkan siklus katabolik.

Description: C:\Users\MeLer\Desktop\showimage.cfm.jpg
Gambar 2. Jalur neurohumoral di hipotalamus yang mengatur kesetimbangan energi. Terlihat POMC dan CART  sebagai neuron anoreksigenik, dan serta NPY dan AgRP sebagai neuron oreksigenik di hipotalamus bagian nukleud arkuatus.
2.5  Manifestasi Klinis
Obesitas dapat terjadi pada semua golongan umur, akan tetapi pada anak biasanya timbul menjelang remaja dan dalam masa remaja terutama anak wanita, selain berat badan meningkat dengan pesat, juga pertumbuhan dan perkembangan lebih cepat (ternyata jika periksa usia tulangnya), sehingga pada akhirnya remaja yang cepat tumbuh dan matang itu akan mempunyai tinggi badan yang relative rendah dibandingkan dengan anak yang sebayanya.


Bentuk tubuh, penampilan dan raut muka penderita obesitas :
a. Paha tampak besar, terutama pada bagian proximal, tangan relatif kecil dengan jari-jari yang berbentuk runcing.
b. Kelainan emosi raut muka, hidung dan mulut relatif tampak kecil dengan dagu yang berbentuk ganda.
c. Dada dan payudara membesar, bentuk payudara mirip dengan payudara yang telah tumbuh pada anak pria keadaan demikian menimbulkan perasaan yang kurang menyenangkan.
d. Abdomen, membuncit dan menggantung serupa dengan bentuk bandul lonceng, kadang – kadang terdapat strie putih atau ungu.
e. Lengan atas membesar, pada pembesaran lengan atas ditemukan biasanya pada biseb dan trisebnya.
Pada penderita sering ditemukan gejala gangguan emosi yang mungkin merupakan penyebab atau keadaan dari obesitas.Penimbunan lemak yang berlebihan dibawah diafragma dan di dalam dinding dada bisa menekan paru – paru, sehingga timbul gangguan pernafasan dan sesak nafas, meskipun penderita hanya melakukan aktivitas yang ringan.Gangguan pernafasan bisa terjadi pada saat tidur dan menyebabkan terhentinya pernafasan untuk sementara waktu (tidur apneu), sehingga pada siang hari penderita sering merasa mengantuk.
Obesitas bisa menyebabkan berbagai masalah ortopedik, termasuk nyeri punggung bawah dan memperburuk osteoartritis (terutama di daerah pinggul, lutut dan pergelangan kaki). Juga kadang sering ditemukan kelainan kulit. Seseorang yang menderita obesitas memiliki permukaan tubuh yang relatif lebih sempit dibandingkan dengan berat badannya, sehingga panas tubuh tidak dapat dibuang secara efisien dan mengeluarkan keringat yang lebih banyak.Sering ditemukan edema (pembengkakan akibat penimbunan sejumlah cairan) di daerah tungkai dan pergelangan kaki.
2.6  Komplikasi
2.6.1 Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah arterial sistemik meningkat. Hal ini berarti bahwa jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Hipertensi yang persisten merupakan faktor risiko dari penyakit stroke, infark miokardium, gagal jantung, dan aneurisma. Hipertensi diklasifikasikan menjadi 2 jenis yaitu hipertensi primer (esensial) dan hipertensi sekunder.
Pada hipertensi primer penyebab dari kondisi hipertensi masih belum diketahui secara pasti. Hipertensi jenis ini mencakup 90-95% kasus hipertensi. Meskipun penyebabnya belum diketahui secara pasti, namun telah diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu sedentary lifestyle, merokok, stress, obesitas (lebih dari 85% kasus terjadi pada orang dengan IMT lebih dari 25), defisiensi potassium (hipokalemia), sodium sensitivity, konsumsi alkohol, dan defisiensi vitamin D.
Hipertensi sekunder merupakan kondisi hipertensi akibat suatu penyebab yang telah diidentifikasi. Hipertensi tipe ini sangat penting untuk dikenali karena penatalaksanaannya berbeda dengan hipertensi esensial. Hipertensi jenis ini dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan regulasi hormon oleh sistem endokrin yang meregulasi volume plasma darah dan fungsi jantung seperti hipertiroidisme dan hipotiroidisme.
2.6.2         Sleep Disordered Breathing
Sleep disordered breathing didefinisikan sebagai hilangnya pola normal pernapasan saat tidur dan berkisar dari kelainan yang ringan seperti mendengkur(snoring) sampai kelainan yang berat seperti hipoventilasi nokturnal dan gagal napas (respiratory failure) saat tidur.
Mendengkur (snoring) adalah suara bising yang disebabkan oleh aliran udara melalui sumbatan parsial saluran nafas pada bagian belakang hidung dan mulut yang terjadi saat tidur. Sumbatan terjadi akibat kegagalan otot-otot dilator saluran nafas atas melakukan stabilisasi jalan nafas pada saat tidur. Gangguan tidur dengan gejala utama mendengkur adalah Obstructive Sleep Apnea (OSA). OSA ditandai dengan kolaps berulang dari saluran nafas atas, baik komplet atau parsial selama tidur. Akibatnya aliran udara berkurang atau berhenti sehingga terjadi desaturasi oksigen dan penderita berkali-kali terbangun (arousal). Arousal dan desaturasi oksigen mengakibatkan penderita OSA sering mengalami kantuk yang berlebihan pada siang hari, kelelahan, iritabilitas, gangguan perhatian, dan konsentrasi.
2.6.3         Ostheoartritis
Osteoarthritis merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Kelainan utama pada OA adalah kerusakan rawan sendi, dapat diikuti dengan penebalan tulang subkondral, pertumbuhan osteofit, kerusakan ligamen dan peradangan ringan sinovium, sehingga sendi bersangkutan membentuk efusi. Bagian tubuh yang paling sering terkena osteoarthritis adalah tulang belakang, panggul, lutut, dan pergelangan kaki. Berdasarkan patogenesisnya OA dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu osteoarthritis primer dan sekunder.
Osteoarthritis primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang penyebabnya masih belum diketahui secara pasti dan tidak berhubungan dengan penyakit sistemik maupun perubahan lokal pada sendi Sedangkan OA sekunder merupakan OA yang didasari oleh adanya kelainan endokrin, metabolik, inflamasi, pertumbuhan, jejas makro dan mikro, dan imobilisasi yang terlalu lama.
Osteoartritis terjadi akibat kondrosit (sel pembentuk proteoglikan dan kolagen pada rawan sendi) gagal dalam memelihara keseimbangan antara degradasi dan sintesis matriks ekstraseluler, sehingga terjadi perubahan diameter dan orientasi serat kolagen yang mengubah biomekanik dari tulang rawan, yang menjadikan tulang rawan sendi kehilangan sifat kompresibilitasnya yang unik.
2.6.4         Diabetes Melitus
Salah satu resiko yang dihadapi oleh orang yang obesitas adalah penyakit diabetes tipe 2. Menurut beberapa hasil penelitian, diabetes tipe 2 sangat erat kaitannya dengan obesitas. Pada penderita diabetes tipe 2, pankreasnya sebenarnya menghasilkan insulin dalam jumlah yang cukup untuk mempertahankan kadar glukosa darah pada tingkat normal, namun insulin tersebut tidak dapat bekerja maksimal membantu sel-sel tubuh menyerap glukosa karena terganggu oleh komplikasi-komplikasi obesitas, salah satunya adalah kadar lemak darah yang tinggi (terutama kolesterol dan trigliserida)
2.7      Pengukuran Tingkat Obesitas
a.      Pengukuran Secara Antropometri
1.      Body Mass Index (BMI)/ Indeks Massa Tubuh (IMT)
Body Mass Index (BMI) adalah sebuah ukuran “berat terhadap tinggi” badan yang umum digunakan untuk menggolongkan orang dewasa ke dalam kategori Underweight (kekurangan berat badan), Overweight (kelebihan berat badan) dan Obesitas (kegemukan).
Indeks Massa Tubuh (IMT) dihitung dengan cara berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (m) pangkat 2.
Klasifikasi nilai IMT :

IMT
Klasifikasi
< 17
Sangat kurus
17,0 - 18,5
Kurus
18,5 - 24,9
Normal
25,0 - 29,9
Gemuk
30,0 - 34,9
Obesitas level I
35,0 - 39,9
Obesitas level II
> 40
Obesitas level III



2.      RLPP (rasio lingkar pinggang dan pinggul)
Untuk menilai timbunan lemak perut dapat digunakan cara lain, yaitu dengan mengukur rasio lingkar pinggang dan pinggul (RLPP) atau mengukur lingkar pinggang (LP).
Rumus yang digunakan cukup sederhana yaitu : Sebagai patokan, pinggang berukuran ≥ 90 cm merupakan tanda bahaya bagi pria, sedangkan untuk wanita risiko tersebut meningkat bila lingkar pinggang berukuran ≥ 80 cm. Jadi “Jangan hanya menghitung tinggi badan, berat badan dan IMT saja, lebih baik jika disertai dengan mengukur lingkar pinggang”.
3.      Indeks BROCCA
Salah satu cara lain untuk mengukur obesitas adalah dengan menggunakan indeks Brocca, dengan rumus sebagai berikut:
-          Berat Badan Normal = Tinggi Badan (TB) – 100
-          Berat Badan Ideal = TB - 100 - 10% (TB - 100)
Bila hasilnya: 90-110% = Berat badan normal 110-120% = Kelebihan berat badan (Overweight) > 120% = Kegemukan (Obesitas)






2.8      Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan obesitas adalah mencegah komplikasi dan menurunkan gejala klinis yang timbul akibat obesitas. Yang kedua adalah pengobatan untuk menurunkan berat badannya.
a.              Diet
Prinsip pengaturan diet pada obesitas adalah diet seimbang sesuai dengan angka kecukupan gizi (AKG). Intervensi diet harus disesuaikan dengan usia, derajat obesitas, dan ada tidaknya penyakit penyerta.
b.      Diet rendah karbohidrat
Diet ini sangat efektif, karena dapat mencegah lipogenesis (pembentukan jaringan lemak), ini dapat diberikan pada penderita obesitas sedang.
c.       Olahraga
Tujuan latihan jasmani adalah untuk meningkatkan penggunaan kalori. Untuk aktivitas ringan dibutuhkan 1.5-2.0 kcal/menit, aktivitas sedang 3.5-7.0 kcal/menit, pada aktivitas berat 7.4 kcal/menit atau lebih.
d.      Pembedahan
Terapi bedah di indikasikan bila berat badan > 200% BB Ideal. Prinsip terapi ini adalah untuk mengurangi asupan makanan atau memperlambat pengosongan lambung dan mengurangi absorbsi makanan dengan cara membuat gastric bypass dari lambung ke bagian akhir usus halus.


2.9      Tujuan dan Syarat Diet Obesitas
Penderita obesitas (kelebihan berat badan) memiliki ketentuan diet yang bertujuan untuk mencapai dan mempertahankan status gizi sesuai dengan umur, gender dan kebutuhan fisik, mencapai IMT normal, mengurangi asupan energi, sehingga tercapai penurunan berat badan sebanyak ½-1kg/minggu, serta mempertahankan status kesehatan yang optimal. Syarat diet yang diberikan kepada penderita obesitas antara lain :
  1. Energi rendah, ditujukan untuk menurunkan berat badan. Pengurangan dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan kebiasaan makan dari segi kualitas maupun kuantitas. Untuk menurunkan berat badan sebanyak ½-1 kg/minggu, asupan energi dikurangi sebanyak 500-1000 kkal/hari dari kebutuhan normal. Perhitungan kebutuhan normal dilakukan berdasarkan berat badan ideal. 
  2. Protein sedikit lebih tinggi, yaitu 1-1,5 g/kg/BB/hari atau 15-20% dari kebutuhan energi total. 
  3. Lemak sedang yaitu 20-25% dari kebutuhan energi total. Usahakan sumber berasal dari makanan yang mengandung lemak tidak jenuh ganda yang kadarnya tinggi. 
  4. Karbohidrat sedikit lebih rendah, yaitu 55-65% dari kebutuhan energi total. Gunakan lebih banyak sumber karbohidrat kompleks untuk memberi rasa kenyang dan mencegah konstipasi. Sebagai alternatif, bisa digunakan gula buatan sebagai pengganti gula sederhana. 
  5. Vitamin dan mineral cukup sesuai dengan kebutuhan. 
  6. Dianjurkan untuk 3 kali makan utama dan 2-3 kali makan selingan. 
  7. Cairan cukup, yaitu 8-10 gelas/hari.









BAB III
PEMBAHASAN JURNAL
3.1 Jurnal dengan Judul ” Hubungan Status Sosial dan Ekonomi dan Gaya Hidup dengan Kejadian Obesitas pada Siswa SD Negeri 08 Alang Lawas Padang”
Jenis penelitian adalah survei analitik dengan desain cross sectional study. Populasi penelitian adalah siswa SD Negeri 08 Alang Lawas Padang yang duduk di kelas I hingga kelas V tahun ajaran 2012/2013 yang berjumlah 376 orang. Sampel berjumlah 195 orang yang dibagi secara proporsi untuk masing-masing tingkatan kelas. Didapatkan jumlah sampel 41 untuk kelas I, kelas II 40, kelas III 38, kelas IV 39, dan kelas V 37 sampel yang kemudian akan dipilih dengan metode simple random sampling.
Variabel dependen penelitian adalah obesitas yang dinilai berdasarkan IMT/U sesuai dengan baku rujukan WHO 2005. IMT/U diklasifikasikan menjadi sangat kurus (< -3SD), kurus (-3SD s/d < -2SD), normal (-2SD s/d 1SD), gemuk/overweight (>1SD s/d 2SD), dan obesitas (>2SD).6 Pada penelitian ini yang akan dianalisis sebagai obes adalah IMT/U yang diklasifikasikan gemuk/overweight dan obesitas, serta tidak obes adalah sangat kurus, kurus, dan normal.
Langkah-langkah pengolahan data yang dilakukan yaitu memeriksa kelengkapan data dari kuesioner, memberikan kode pada setiap data variabel yang telah terkumpul, memasukkan data ke dalam komputer dengan program Microsoft Excell dan Statistical Program for Social Science (SPSS) 16.0, dan memeriksa kembali data yang telah dimasukkan untuk memastikan bahwa data tersebut telah bersih dari kesalahan. Analisis data terdiri dari analisis univariat dan bivariat. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel menggunakan uji Chi-square dengan derajat kemaknaan p < 0,05.
Hasil penelitian ini menunjukkan  persentase klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) siswa terbanyak adalah normal yaitu 76,41%. Obesitas (8,21%) dan gemuk (11,79%) lebih banyak apabila dibandingkan kurus dan sangat kurus. Pada penelitian ini yang digolongkan sebagai obesitas adalah siswa dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) obesitas dan berat lebih atau gemuk sehingga didapatkan persentase sebesar 20%.
Penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan tingkat pendidikan orang tua dengan kejadian obesitas pada anak. Tingkat pendidikan ayah yang berperan sebagai kepala keluarga sangat mempengaruhi pola pendidikan dan asuhan orang tua terhadap anak di dalam rumah tangga. Selain itu tingkat pendidikan ayah dapat mempengaruhi dari jenis pekerjaan ayah yang memiliki pengaruh pada tingkat ekonomi keluarga yang juga mempengaruhi kemampuan orang tua memenuhi kebutuhan dan gaya hidup anak. Tingkat pendidikan ibu akan berkaitan dengan pengetahuan dan pemahaman ibu terhadap kesehatan, nutrisi, dan hal lainnya untuk anak. Hal ini akan mempengaruhi pola asuh, pengaturan nutrisi, serta pemilihan jenis makanan yang berkontribusi terhadap terjadinya obesitas pada anak. Pada ibu dengan tingkat pendidikan lebih tinggi sangat diharapkan terjadi peningkatan pengetahuan dan pemahan terhadap pola asuh dan nutrisi yang baik untuk anak dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Tetapi dari uji statistik terhadap hubungan kejadian obesitas dengan tingkat pendidikan ibu didapatkan tidak bermakna dengan p-value=1,00 (p>0,05). Dari nilai tersebut dapat disimpulkan tidak adanya hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian obesitas pada anak.
Penelitian ini juga menunjukkan tidak adanya hubungan pola makan dengan tingkat kejadian obesitas pada anak. Penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan aktivitas fisik dengan kejadian obesitas pada anak. Hal ini mencerminkan bahwa, pola hidup sedentary berkontribusi dalam terjadinya obesitas pada anak.







BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Obesitas adalah kondisi di mana lemak tubuh menumpuk sehingga bisa menimbulkan efek buruk pada kesehatan. Tipe-tipe obesitas terdiri dari tipe berdasarkan bentuk tubuh dan tipe berdasarkan keadaan lemak. Penyebab obesitas belum diketahui secara pasti, tapi beberapa ahli menyimpulkan obesitas terjadi karena beberapa factor, yaitu: factor genetic, gangguan metabolism, adanya gangguan regulasi di pusat hipotalamus, factor lingkungan, factor psikologis dan factor social ekonomi. Penatalaksanaan obesitas bisa dilakukan dengan 4 cara, yaitu: diet, diet rendah karbohidrat, olahraga dan pembedahan.
4.2 Saran
Diharapkan perawat dapat mengetahui konsep obesitas dan mampu memberikan intervensi yang dapat diterima klien obesitas. Penatalaksanaan yang utama adalah mengatur pola makan klien dengan persetujuan klien sesuai arahan ahli gizi.                                                                





DAFTAR PUSTAKA
Anwar, S.,.(2005). Obesitas dalam Masyarakat. Jakarta: Yudisthira.
Guyton & Hall. (2014). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran ed 12. Jakarta: EGC.
Isnaini, Sartono, A.,. & Winaryati, E.,.(2012). Hubungan Pengetahuan Obesitas dengan Rasio Lingkar Pinggang Panggul pada Ibu Rumah Tangga di Desa Pepe Krajan Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan vol. 1 no. 1. Diakses pada tanggal 2 Desember 2014 dari http://jurnal.unimus.ac.id
Octari, C.,. Liputo. N.,. I.,. & Edison.(2014). Hubungan Status Sosial dan Ekonomi dan Gaya Hidup dengan Kejadian Obesitas pada Siswa SDNegeri 08 Alang Lawas Padang. Diakses pada tanggal 2 Desember 2014 dari http://jurnal.fk.unand.ac.id
Rimbawan & Siagian, A.,.(2004). Indeks Glikemik Pangan. Jakarta: Penebar Swadaya
Sudoyo, A.,W., et al. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III ed 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Wong & Whaley’s. (2002). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik Ed 4. Jakarta: EGC