Wednesday 12 June 2019

Cut Nyak Dien dan Semangatnya Membela Tanah Tumpah Darah

#30HariMenulis2019_Hari_9

Tema : Tokoh

Tjut Nyak Dien

Tema kali ini benar-benar menyenangkan buat saya. Karena ada banyak tokoh di dunia ini yang memiliki sumbangsih di berbagai bidang.

Setiap orang tentu memiliki tokoh favorit dan setiap muslim pasti mengidolakan Rasulullah. Tulisan ini tidak membahas Rasulullah, karena Beliau sedemikian sempurna, menjadi rahmat bagi seluruh alam dan terjaga dari perbuatan salah dan dosa.

Karena saya seorang wanita, saya akan menulis tokoh wanita yang menginspirasi saya. Beliau adalah Cut Nyak Dien, seorang wanita pemberani asal Aceh yang tak kenal takut dengan bangsa Belanda yang menjajah Nusantara di masa itu.
Beliau lahir di Lampadang, Aceh Besar kisaran tahun 1848. Ada juga literatur yang menyebutkan Beliau lahir tahun 1850. Ayah Beliau, Nanta Setia merupakan hulubalang Kerajaan Aceh yang lebih dahulu mengangkat senjata karena ketamakan, kecongkakan dan niat Belanda menguasai wilayah Aceh begitu besar.

Cut Nyak Dien menikah dua kali. Suaminya yang pertama bernama Tengku Cek Ibrahim Lamnga yang meninggal karena melawan koloni Belanda dan suami kedua beliau bernama Teuku Umar. Teuku Umar juga seorang pejuang dan salah satu pahlawan kemerdekaan yang berjasa besar untuk bangsa ini pada umumnya dan masyarakat Aceh pada khususnya. Karena Teuku Umar berpura-pura memihak kepada Belanda lah rakyat Aceh kala itu berhasil memiliki senjata dan mengetahui sedikit banyak taktik peperangan yang dipakai Belanda.

Setelah Teuku Umar wafat, perjuangannya dilanjutkan oleh Cut Nyak Dien. Walau usia kian menua, penyakit encok dan rabun yang menyertainya tak menyurutkan langkah Beliau untuk tetap menghunus rencong dan bergerilya melawan Belanda.
Kata-kata yang Beliau gunakan saat mengobarkan semangat juang rakyat Aceh adalah “hudép sarèè atau matèè syahid”. Artinya pilihan hidup kita hanya ada dua. Hidup mulia dan berdikari di tanah sendiri atau mati syahid melawan kesewenangan penjajah. Kata-kata ini juga dipakai oleh banyak pejuang Aceh lainnya.

Kata-kata ini sendiri penuh makna menurut saya. Lebih baik hidup susah dari pada jadi penjilat orang-orang kaya nan tamak bin sekarah dan zalim sama siapa saja. Atau lebih baik hidup dengan memperkaya bangsa sendiri, membeli barang-barang yang diproduksi bangsa sendiri agar bangsa ini bisa jadi negara produsen suatu hari nanti, bukan negara tujuan bangsa lain memasarkan produknya, dalam arti bangsa kita hanya bisa membeli tanpa bisa menghasilkan dan menciptakan.

Berkat kata-kata itu pula, Aceh masih dapat mempertahankan wilayahnya dari penjajahan Belanda. Menurut Undang-undang Internasional saat itu, negara yang sudah dijajah selama 150 tahun harus menjadi wilayah negara penjajahnya. Bahkan ada wilayah Indonesia yang dijajah lebih dari 350 tahun. Tak salah jika Sang Proklamator Soekarno menyematkan Aceh sebagai wilayah modal. Berkat Aceh yang belum takluk kepada Belanda, Indonesia masih dianggap berjaya dan kemerdekaannya diakui oleh beberapa negara setelah proklamasi. Walau tetap banyak perundingan dan adanya agresi militer setelahnya, Indonesia tetap merdeka.

Sudah tentu kita sebagai pewaris kemerdekaan sadar dan menjaga bangsa ini. Jangan mau terpecah belah dan tetap tanamkan bahwa hidup mulia di tanah sendiri di negara sendiri adalah yang terbaik. Yuk sebisa mungkin kita jaga warisan kemerdekaan ini.  Tanamkan juga kepada generasi muda untuk terus mencintai negara ini.

Total kata : 479 kata

0 komentar:

Post a Comment