Thursday 8 January 2015

Manajemen Hemodialisis dan Continous Ambulatory Peritoneal Dialisys (CAPD)



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Ginjal memiliki peranan penting dalam tubuh manusia terutama dalam proses metabolisme, menjaga keseimbangan cairan tubuh, dan pembentukan sejumlah vitamin serta mineral (Falvo, 2005). Kerusakan ginjal tentu saja dapat menganggu mekanisme biologis dalam tubuh. Salah satu bentuk kerusakan ginjal adalah gagal ginjal.
Gagal ginjal merupakan salah satu penyakit kronis yang kini berkembang pesat di Indonesia. Pada tahun 2005, Pernefri (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) mencatat sebanyak 118.750 kasus gagal ginjal. Jumlah ini berkembang pesat di tahun 2012 menjadi 300.000 kasus. Pernefri melaporkan kasus gagal ginjal di Indonesia dapat meningkat hingga 200.000 kasus setiap tahunnya.
Penyakit gagal ginjal terbagi dua yaitu gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik. Penyakit gagal ginjal akut menimbulkan kerusakan ginjal yang sifatnya temporer dan terjadi dalam waktu singkat, sedangkan penyakit gagal ginjal kronis menimbulkan kerusakan ginjal permanen yang terjadi secara menahun. Kerusakan ini menyebabkan menurunnya fungsi ginjal manusia dan mencapai tahap akhir bila fungsi ginjak yang tersisa hanya 15% saja. Sayangnya sampai saat ini belum ditemukan teknik pengobatan yang dapat mengembalikan fungsi ginjal. Satu-satunya pilihan pasien adalah menjalani terapi pengganti ginjal.
Terapi pengganti ginjal terbagi tiga, yakni: transplantasi ginjal, hemodialisa dan CAPD. Metode transplantasi ginjal dapat mengembalikan kapasitas fungi ginjal pasien sehingga meminimalisir ketergantungan pasien terhadap layanan medis. Hemodialisa adalah suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen. CAPD merupakan salah satu terapi pengganti ginjal yang fungsinya sama dengan hemodialisa, tetapi dengan metode yang berbeda. Peritoneal dyalisis adalah metode cuci darah dengan bantuan membran peritoneum (selaput rongga perut), jadi darah tidak perlu dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan dan disaring oleh mesin dialysis.
1.2  Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hemodialisis?
2. Apa etiologi hemodialysis?
3. Apa saja kontraindikasi hemodialysis?
4. Apa tujuan dilakukannya tindakan hemodialysis?
5. Bagaimana prinsip dari tindakan hemodialysis?
6. Apa saja peralatan hemodialysis itu?
7. Bagaimana proses dilakukannya tindakan hemodialysis?
8. Bagaimana pedoman pelaksanaan tindakan hemodialysis itu?
9. Komplikasi apa saja yang terjadi akibat melakukan tindakan hemodialysis?
10. Bagaimana manajemen asuhan keperawatan pada Pasien hemodialysis itu?
11. Apa pengertian Continous Ambulatory Dialisis Peritoneal (CAPD)?
12. Apa etiologi Continous Ambulatory Dialisis Peritoneal (CAPD)?
13. Apa saja jenis-jenis dari Continous Ambulatory Dialisis Peritoneal (CAPD)?
14. Bagaimana proses dari tindakan Continous Ambulatory Dialisis Peritoneal (CAPD)?
15. Bagaimana manajemen asuhan keperawatan pada pasien Continous Ambulatory Dialisis Peritoneal (CAPD)?
1.3  Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian Hemodialisis.
2. Mengetahui etiologi hemodialysis.
3. Mengetahui kontraindikasi hemodialysis.
4. Mengetahui tujuan dilakukannya tindakan hemodialysis.
5. Mengetahui prinsip dari tindakan hemodialysis.
6. Mengetahui peralatan hemodialysis.
7. Mengetahui proses hemodialisys.
8. Mengetahui pedoman pelaksanaan tindakan hemodialysis.
9. Mengetahui Komplikasi apa saja yang terjadi akibat melakukan tindakan hemodialysis.
10. Mengetahui manajemen asuhan keperawatan pada pasien hemodialysis.
11. Mengetahui pengertian Continous Ambulatory Dialisis Peritoneal (CAPD).
12. Mengetahui etiologi Continous Ambulatory Dialisis Peritoneal (CAPD).
13. Mengetahui jenis-jenis Continous Ambulatory Dialisis Peritoneal (CAPD).
14. Mengetahui proses dari tindakan Continous Ambulatory Dialisis Peritoneal (CAPD).
15. Mengetahui manajemen asuhan keperawatan pada pasien Continous Ambulatory Dialisis Peritoneal (CAPD).










BAB II
PEMBAHASAN
Manajemen Hemodialisis dan Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
2.1 Manajemen Hemodialisis
            2.1.1 Pengertian
            Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan fungsi tersebut.
            Pada dialisis, molekul solut berdifusi lewat membran semipermeabel dengan cara mengalir dari sisi cairan yang lebih pekat (konsentrasi solut lebih tinggi) ke cairan yang lebih encer (konsentrasi solut lebih rendah). Cairan mengalir lewat membran semipermeabel dengan cara osmosis atau ultrafiltrasi (aplikasi tekakan eksternal pada membran).
            Membran semipermeabel adalah lembar tipis, berpori-pori terbuat dari selulosa atau bahan sintetik. Ukuran pori-pori membran memungkinkan difusi zat dengan berat molekul rendah seperti urea, kreatinin, dan asam urat berdifusi. Molekul air juga sangat kecil dan bergerak bebas melalui membran, tetapi kebanyakan protein plasma, bakteri, dan sel-sel darah terlalu besar untuk melewati pori-pori membran. Perbedaan konsentrasi zat pada dua kompartemen disebut gradien konsentrasi.
            Hemodialisa adalah salah satu terapi pengganti ginjal yang paling banyak dipilih oleh para penderita Gagal Ginjal Kronik. Pada prinsipnya terapi hemodialisa adalah untuk menggantikan kerja dari ginjal yaitu menyaring dan membuang sisa – sisa metabolisme dan kelebihan cairan, membantu menyeimbangkan unsur kimiawi dalam tubuh serta membantu menjaga tekanan darah.
            Terapi dibutuhkan apabila fungsi ginjal seseorang telah mencapai tingkatan terakhir (stage 5) dari gagal ginjal kronik. Dokter akan menentukan tingkatan fungsi ginjal seseorang berdasarkan perhitungan GFR atau Glomerular Filtration Rate, dimana pada tingkatan GFR dibawah 15, ginjal seseorang dinyatakan masuk dalam kategori gagal ginjal terminal (End Stage Renal Disease).
            Sehelai membran sintetik yang semipermeabel menggantikan glomerolus serta tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya.
Sistem ginjal buatan:
1.      Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan asam urat.
2.      Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding antara darah dan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dalam arus darah dan tekanan negatif (penghisap) dalam kompartemen dialisat (proses ultrafiltrasi).
3.      Mempertahankan dan mengembalikan system buffer tubuh.
4.      Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.

2.1.2 Etiologi
Hemodialisa dilakukan kerena pasien menderita gagal ginjal akut dan kronik akibatdari : azotemia, simtomatis berupa enselfalopati, perikarditis, uremia, hiperkalemia berat, kelebihan cairan yang tidak responsive dengan diuretic, asidosis yang tidak bisadiatasi, batu ginjal, dan sindrom hepatorenal.
2.1.3 Kontraindikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003).





2.1.4 Tujuan Hemodialisa
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :
1. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
2. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
3. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
4. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.
2.1.5 Prinsip Hemodialisa
Prinsip mayor/proses hemodialisa adalah:
a.       Akses Vaskuler :
Seluruh dialysis membutuhkan akses ke sirkulasi darah pasien. Kronik biasanya memiliki akses permanent seperti fistula atau graf sementara. Akut memiliki akses temporer seperti vascoth.
    b. Membran semi permeable
Hal ini ditetapkan dengan dialyser actual dibutuhkan untuk mengadakan kontak diantara darah dan dialisat sehingga dialysis dapat terjadi.
    c. Difusi
Dalam dialisat yang konvesional, prinsip mayor yang menyebabkan pemindahan zat terlarut adalah difusi substansi. Berpindah dari area yang konsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi rendah. Gradien konsentrasi tercipta antara darah dan dialisat yang menyebabkan pemindahan zat pelarut yang diinginkan. Mencegah kehilangan zat yang dibutuhkan.
d. Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan akan mengambil bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam cairan tersebut.
e. Ultrafiltrasi
Proses dimana cairan dipindahkan saat dialysis dikenali sebagai ultrafiltrasi artinya adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk tekanan. Tiga tipe dari tekanan dapat terjadi pada membrane :
1)      Tekanan positip merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan dalam membrane. Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser dan resisten vena terhadap darah yang mengalir balik ke fistula tekanan positip “mendorong” cairan menyeberangi membrane.
2)      Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar membrane oleh pompa pada sisi dialisat dari membrane tekanan negative “menarik” cairan keluar darah.
3)      Tekanan osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut. Larutan dengan kadar zat terlarut yang tinggi akan menarik cairan dari larutan lain dengan konsentrasi yang rendah yang menyebabkan membrane permeable terhadap air.
2.1.6 Peralatan Hemodialisa

1. Arterial – Venouse Blood Line (AVBL)
AVBL terdiri dari :
a) Arterial Blood Line (ABL)
Adalah tubing tubing/line plastic yang menghubungkan darah dari tubing akses vaskular tubuh pasien menuju dialiser, disebut Inlet ditandai dengan warna merah.
b) Venouse Blood Line
Adalah tubing/line plastic yang menghubungkan darah dari dialiser dengan tubing akses vascular menuju tubuh pasien disebut outlet ditandai dengan warna biru. Priming volume AVBL antara 100-500 ml. priming volume adalah volume cairan yang diisikan pertama kali pada AVBL dan kompartemen dialiser.
Bagian-bagian dari AVBL dan kopartemen adalah konektor, ujung runcing,segmen pump,tubing arterial/venouse pressure,tubing udara,bubble trap,tubing infuse/transfuse set, port biru obat ,port darah/merah herah heparin,tubing heparin dan ujung tumpul.
2. Dializer /ginjal buatan (artificial kidney)
Adalah suatu alat dimana proses dialisis terjadi terdiri dari 2 ruang /kompartemen,yaitu:
·         Kompartemen darah yaitu ruangan yang berisi darah
·         Kompartemen dialisat yaitu ruangan yang berisi dialisat
 Kedua kompartemen dipisahkan oleh membran semipermiabel.
Dialiser mempunyai 4 lubang yaitu dua ujung untuk keluar masuk darah dan dua samping untuk keluar masuk dialisat.
3. Air Water Treatment
Air dalam tindakan hemodialis dipakai sebagai pencampur dialisat peka (diasol). Air ini dapat berasal dari berbagai sumber, seperti air PAM dan air sumur, yang harus dimurnikan dulu dengan cara “water treatment” sehingga memenuhi standar AAMI (Association for the Advancement of Medical Instrument). Jumlah air yang dibutuhkan untuk satu session hemodilaisis seorang pasien adalah sekitar 120 Liter.
4. Larutan Dialisat
Dialisat adalah larutan yang mengandung elektrolit dalam komposisi tertentu. Dipasaran beredar dua macam dialisat yaitu dialisat asetat dan dialisat bicarbonate. Dialisat asetat menurut komposisinya ada beberapa macam yaitu : jenis standart, free potassium, low calsium dan lain-lain. Bentuk bicarbonate ada yang powder, sehingga sebelum dipakai perlu dilarutkan dalam air murni/air water treatment sebanyak 9,5 liter dan ada yang bentuk cair (siap pakai).
5. Mesin Hemodialisis
Ada bermacam-macam mesin haemodilisis sesuai dengan merek nya. Tetapi prinsipnya sama yaitu blood pump, system pengaturan larutan dilisat, system pemantauan mesin terdiri dari blood circuit dan dillisat circuit dan bebagai monitor sebagai deteksi adanya kesalahan. Dan komponen tambahan seperti heparin pump, tombol bicarbonate, control ultrafiltrasi, program ultrafiltrasi, kateter vena, blood volume monitor.
2.1.7 Proses Hemodialisa
Pada proses hemodialisa, darah dialirkan ke luar tubuh dan disaring di dalam ginjal buatan (dialyzer). Darah yang telah disaring kemudian dialirkan kembali ke dalam tubuh. Rata – rata manusia mempunyai sekitar 5,6 s/d 6,8 liter darah, dan selama proses hemodialisa hanya sekitar 0,5 liter yang berada di luar tubuh. Untuk proses hemodialisa dibutuhkan pintu masuk atau akses agar darah dari tubuh dapat keluar dan disaring oleh dialyzer kemudian kembali ke dalam tubuh. Terdapat 3 jenis akses yaitu arteriovenous (AV) fistula, AV graft dan central venous catheter. AV fistula adalah akses vaskular yang paling direkomendasikan karena cenderung lebih aman dan juga nyaman untuk pasien. Sebelum melakukan proses hemodialisa (HD), perawat akan memeriksa tanda – tanda vital pasien untuk memastikan apakah pasien layak untuk menjalani Hemodialysis. Selain itu pasien melakukan timbang badan untuk menentukan jumlah cairan didalam tubuh yang harus dibuang pada saat terapi. Langkah berikutnya adalah menghubungkan pasien ke mesin cuci darah dengan memasang blod line (selang darah) dan jarum ke akses vaskular pasien, yaitu akses untuk jalan keluar darah ke dialyzer dan akses untuk jalan masuk darah ke dalam tubuh. Setelah semua terpasang maka proses terapi hemodialisa dapat dimulai. Pada proses hemodialisa, darah sebenarnya tidak mengalir melalui mesin HD, melainkan hanya melalui selang darah dan dialyzer. Mesin HD sendiri merupakan perpaduan dari komputer dan pompa, dimana mesin HD mempunyai fungsi untuk mengatur dan memonitor aliran darah, tekanan darah, dan memberikan informasi jumlah cairan yang dikeluarkan serta informasi vital lainnya. Mesin HD juga mengatur cairan dialisat yang masuk ke dialyzer, dimana cairan tersebut membantu mengumpulkan racun – racun dari darah. Pompa yang ada dalam mesin HD berfungsi untuk mengalirkan darah dari tubuh ke dialyzer dan mengembalikan kembali ke dalam tubuh.
2.1.8 Pedoman Pelaksanaan Hemodialisa
1. Perawatan sebelum hemodialisa
 Sambungkan selang air dengan mesin hemodialisa
 Kran air dibuka
 Pastikan selang pembuang air dan mesin hemodialisis sudah masuk kelubang atau saluran pembuangan
 Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak
 Hidupkan mesin
 Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit
 Matikan mesin hemodialisis
 Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat
 Sambungkan slang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin hemodialisis
 Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap)
2. Menyiapkan sirkulasi darah
 Bukalah alat-alat dialysis dari set nya
 Tempatkan dializer pada tempatnya dan posisi “inset” (tanda merah) diatas dan posisi “outset” (tanda biru) di bawah.
 Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung “inset”dari dializer.
 Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung “out set” dari dializer dan tempatkan buble tap di holder dengan posisi tengah..
 Set infus ke botol NaCl 0,9% – 500 cc
 Hubungkan set infus ke slang arteri
 Bukalah klem NaCl 0,9%, isi slang arteri sampai ke ujung slang lalu diklem.
 Memutarkan letak dializer dengan posisi “inset” di bawah dan “out set” di atas, tujuannya agar dializer bebas dari udara.
 Tutup klem dari slang untuk tekanan arteri, vena, heparin
 Buka klem dari infus set ABL, VBL
 Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/menit, kemudian naikkan secara bertahap sampai dengan 200 ml/menit.
 Isi bable-trap dengan NaCl 0,9% sampai ¾ cairan
 Berikan tekanan secara intermiten pada VBL untuk mengalirkan udara dari dalam dializer, dilakukan sampai dengan dializer bebas udara (tekanan lebih dari 200 mmHg).
 Lakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9% sebanyak 500 cc yang terdapat pada botol (kalf) sisanya ditampung pada gelas ukur.
 Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong dengan kalf NaCl 0,9% baru
 Sambungkan ujung biru VBL dengan ujung merah ABL dengan menggunakan konektor.
 Hidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dializer baru 15-20 menit untuk dializer reuse dengan aliran 200-250 ml/menit.
 Kembalikan posisi dializer ke posisi semula di mana “inlet” di atas dan “outlet” di bawah.
 Hubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-10 menit, siap untuk dihubungkan dengan pasien soaking.
3. Persiapan pasien
 Menimbang berat badan
 Mengatur posisi pasien
 Observasi keadaan umum
 Observasi tanda-tanda vital
 Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan sirkulasi, biasanya mempergunakan salah satu jalan darah/blood akses seperti di bawah ini:
• Dengan interval A-V shunt / fistula simino
• Dengan external A-V shunt / schungula
• Tanpa 1 – 2 (vena pulmonalis)

2.1.9 Komplikasi
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain :
1) Ketidakseimbangan Cairan
a. Hipervolemia
Temuan berikut ini mengisyaratkan adanya kelebihan cairan seperti tekanan darah naik, peningkatan nadi, dan frekuensi pernafasan, peningkatan tekanan vena sentral, dispnea, batuk, edema, penambahan BB berlebih sejak dialysis terakhir
b. Hipovolemia
Petunjuk terhadap hipovolemia meliputi penurunan TD, peningkatan frekuensi nadi, pernafasan, turgor kulit buruk, mulut kering, tekanan vena sentral menurun, dan penurunan haluaran urine. Riwayat kehilangan banyak cairan melalui lambung yang menimbulkan kehilangan BB yang nantinya mengarah ke diagnosa keperawatan kekurangan cairan.
c. Ultra filtrasi
Gejala ultrafiltarasi berlebihan adalah mirip syok dengan gejala hipotensi, mual muntah, berkeringat, pusing dan pingsan.

d. Rangkaian ultrafiltrasi (Diafiltrasi)
Ultrafiltrasi cepat untuk tujuan menghilangkan atau mencegah hipertensi, gagal jantung kongestif, edema paru dan komplikasi lain yang berhubungan dengan kelebihan cairan seringkali dibatasi oleh toleransi pasien untuk memanipulasi volume intravaskular.
e. Hipotensi
Hipotensi selama dialysis dapat disebabkan oleh hipovolemia, ultrafiltrasi berlebihan, kehilangan darah ke dalam dialiser, inkompatibilitas membran pendialisa, dan terapi obat antihipertensi.
f. Hipertensi
Penyebab hipertensi yang paling sering adalah kelebihan cairan, sindrom disequilibrium, respon renin terhadap ultrafiltrasi dan ansites.
g. Sindrome Disequilibrium Dialysis
Dimanifestasikan olehh sekelompok gejala yang diduga disfungsiserebral dengan rentang dari mual muntah, sakit kepala, hipertensi sampai agitasi, kedutan, kekacauan mental, dan kejang.


2) Ketidakseimbangan Elektrolit
Elektrolit merupakan perhatian utama dalam dialisis, yang normalnya dikoreksi selama prosedur adalah natrium, kalium, bikarbonat, kalisum, fosfor, dan magnesium.
3) Infeksi
Pasien uremik mengalami penurunan resisten terhadap infeksi, yang diperkirakan karena penurunan respon imunologik. Infeksi paru merupakan penyebab utama kematian pada pasein uremik.
4) Perdarahan dan Heparinisasi
Perdarahan selama dialysis mungkin karena konsidi medik yang mendasari seperti ulkus atau gastritis atau mungkin akibat antikoagulasi berlebihan. Heparin adalah obat pilihan karena pemberiannya sederhana, meningkatkan masa pembekuan dengan cepat, dimonitor dengan mudah dan mungkin berlawanan dengan protamin.





2.1.10 Manajemen Asuhan Keperawatan pada Pasien Hemodialisis
A) Pengkajian
1. Keluhan utama
Tanda-tanda dan gejala uremia yang mengenai system tubuh (mual, muntah, anoreksia berat, peningkatan letargi, konfunsi mental), kadar serum yang meningkat.
2. Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien penderita gagal ginjal kronis (stadium terminal).
3. Riwayat obat-obatan
Pasien yang menjalani dialisis, semua jenis obat dan dosisnya harus dievaluasi dengan cermat. Terapi antihipertensi, yang sering merupakan bagian dari susunan terapi dialysis, merupakan salah satu contoh di mana komunikasi, pendidikan dan evaluasi dapat memberikan hasil yang berbeda. Pasien harus mengetahui kapan minum obat dan kapan menundanya. Sebagai contoh, obat antihipertensi diminum pada hari yang sama dengan saat menjalani hemodialisis, efek hipotensi dapat terjadi selama hemodialisis dan menyebabkan tekanan darah rendah yang berbahaya.



4. Psikospiritual
Penderita hemodialisis jangka panjang sering merasa kuatir akan kondisi penyakitnya yang tidak dapat diramalkan. Biasanya menghadapi masalah financial, kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan, dorongan seksual yang menghilang serta impotensi, dipresi akibat sakit yang kronis dan ketakutan terhadap kematian.
Prosedur kecemasan merupakan hal yang paling sering dialami pasien yang pertama kali dilakukan hemodialisis.
5. ADL (Activity Daily Living)
Nutrisi             : Pasien dengan hemodialisis harus diet ketat dan pembatasan cairan masuk untuk meminimalkan gejala seperti penumpukan cairan yang dapat mengakibatkan gagal jantung kongesti serta edema paru, pembatasan pada asupan protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian meminimalkan gejala, mual muntah.
Eliminasi         : Oliguri dan anuria untuk gagal
Aktivitas         : dialisis menyebabkan perubahan gaya hidup pada keluarga. Waktu yang diperlukan untuk terapi dialisis akan mengurangi waktu yang tersedia untuk melakukan aktivitas sosial dan dapat menciptakan konflik, frustasi. Karena waktu yang terbatas dalam menjalani aktivitas sehai-hari.

6. Pemeriksaan fisik
BB : Setelah melakukan hemodialisis biasanya berat badan akan menurun.
TTV: Sebelum dilakukan prosedur hemodialisis biasanya denyut nadi dan tekanan darah diatas rentang normal. Kondisi ini harus di ukur kembali pada saat prosedur selesai dengan membandingkan hasil pra dan sesudah prosedur.
B2 : hipotensi, turgor kulit menurun
7.  Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
  • Urine lengkap
  • Darah lengkap meliputi: Hb,Hct, L, Trombosit, LED, Ureum pre dan post, kreatinin pre dan post, protein total, albumin, globulin, SGOT-SGPT, bilirubin, gama gt, alkali fosfatase, kalsium, fosfor, kalium, natrium, klorida, gula darah, SI, TIBC, saturasi transferin, feritin serum, pth, vit D, kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida, asam urat, Hbs Ag, antiHCV, anti HIV, CRP, astrup:pH/P02/pC02/HCO3
  • Biasanya dapat ditemukan adanya: anemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemi, ureumikum, kreatinin meningkat, pH darah rendah, GD klien DM menurun
Radiologi
  • Rontgen, Usg, Echo: kemungkinan ditemukan adanya gambaran pembesaran jantung, adanya batu saluran kencing/ginjal, ukuran korteks, gambaran keadaan ginjal, adanya pembesaran ukuran ginjal, vaskularisasi ginjal.
  • Sidik nuklir dapat menentukan GFR (Glomerulo Filtration Rate)
EKG  
  • Dapat dilihat adanya pembesaran jantung, gangguan irama, hiperkalemia, hipoksia miokard.
Biopsi
  • Mendeteksi adanya keganasan pada jaringan ginjal.
B) Diagnosa Keperawatan
        NO.
Diagnosa Keperawatan
        Pre Hemodialisis
1.
Ansietas berhubungan dengan krisis situasional mengenai tindakan yang akan dilakukan.
Intra Hemodialisis
2.
Resiko tinggi terhadap kehilangan akses vaskuler berhubungan dengan perdarahan karena lepas sambungan secara tidak sengaja.
3.
Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan ultrafiltrasi.
4.
Resiko tinggi kelebihan volume cairan berhubungan dengan pemasukan cairan untuk mendukung tekanan darah selama dialisa.
5.
Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah
Post Hemodialisis
6.
Ansietas berhubungan dengan perubahan dengan status kesehatan atau fungsi peran
7.
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kontaminasi kulit pada sisi pemasangan kateter








2.2 Manajemen Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
            2.2.1 Pengertian
Peritoneal dialysis adalah suatu proses dialysis di dalam rongga perut yang bekerja sebagai penampung cairan dialysis, dan peritoneum sebagai membrane semi permeable yang berfungsi sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan & solute yang berisi racun yang akan dibuang. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah metabolik dari aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut. Kemudian cairan dikeluarkan, dibuang dan diganti dengan cairan yang baru. Biasanya digunakan selang karet silikon yang lembut atau selang poliuretan yang berpori-pori, sehingga cairan mengalir secara perlahan dan tidak terjadi kerusakan.
Rongga peritoneum adalah bagian dari perut yang membungkus organ-organ, seperti lambung, ginjal, usus, dll. Di dalam rongga perut ini terdapat banyak sel-sel darah kecil (kapiler) yang berada pada satu sisi dari membran peritoneum dan cairan dialysis pada sisi yang lain. Rongga peritoneum berisi + 100ml cairan yang berfungsi untuk lubrikasi / pelicin dari membran peritoneum. Pada orang dewasa normal, rongga peritoneum dapat mentoleransi cairan > 2 liter tanpa menimbulkan gangguan.

Membran peritoneum merupakan lapisan tipis bersifat semi permeable. Luas permukaan + 1,55m2 yang terdiri dari 2 bagian, yaitu:
a.       Bagian yang menutupi / melapisi dinding rongga perut (parietal peritoneum), + 20% dari total luas membran peritoneum.
b.      Bagian yang menutup organ di dalam perut (vasceral peritoneum), + 80% dari luas total membran peritoneum.
Total suplai darah pada membran peritoneum dalam keaadan basal + 60 – 100 ml/mnt.
            2.2.2 Etiologi
            Adapun penyebab dilakukan tindakan  dialysis peritoneal adalah :
a.         Pembuangan cairan yang berlebihan, toksin atau obat karena tidak adekuatnya gradient osmotic dialisat
b.         Kehilangan darah aktual (heparinisasi sitemik atau pemutusan aliran darah)
c.         Distensi abdomen atau konstipasi
d.         Penurunan area ventilasi dimana bunyi nafas adventisius menunjukkan kelebihan cairan, tertahannya sekresi dan infeksi.
e.         Penggunaan dialisat hipertonik dengan pembuangan cairan yang berlebihan dari volume sirkulasi.
           


            2.2.3 Jenis Peritoneal Dialisis
  1. APD (Automated Peritoneal Dialysis) / Dialysis Peritoneal Otomatis. Merupakan bentuk terapi dialysis peritoneal yang baru dan dapat dilakukan di rumah, pada malam hari sewaktu tidur dengan menggunakan mesin khusus yang sudah diprogram terlebih dahulu. Mesin khusus ini dapat dibawa ke mana saja, dikarenakan mesin ini tidak bekerja dengan daya gravitasi maka keharusan untuk menimbang dan menggantung kantung cairan.
  2. CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis) / Dialysis Peritoneal Mandiri Berkesinambungan. Bedanya tidak menggunakan mesin khusus seperti APD. Dialysis peritoneal diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk dialysis) ke dalam rongga perut melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam. Yang dimaksud dengan kateter adalah selang plastik kecil (silikon) yang dimasukan ke dalam rongga peritoneal melalui pembedahan sederhana, kateter ini berfungsi untuk mengalirkan cairan dialysis peritoneal keluar dan masuk rongga peritoneum anda. Ketika dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat.





2.2.4 Proses Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
Dalam peritoneal dialysis dilakukan pergantian cairan setiap hari tanpa menimbulkan rasa sakit. Proses mengeluarkan cairan tersebut dalam jangka waktu tertentu dan kemudian menggantikannya dengan cairan baru. Proses ini terdiri dalam 3 langkah:
  1. Mengeluarkan cairan, proses pengeluaran cairan dari rongga peritoneal berlangsung dengan bantuan gaya gravitasi dan memerlukan waktu sekitar 20 menit.
  2. Memasukan cairan, cairan dialysis ke dalam rongga peritoneal melalui kateter dan memerlukan proses 10 menit.
  3. Waktu tinggal, tahap cairan disimpan di dalam rongga peritoneal selama 4 sampai 6 jam (tergantung anjuran dari dokter). Pergantian cairan diulang setiap 4 atau 6 jam, dengan maksud minimal 4 kali sehari, 7 hari dalam seminggu. Pergantian dapat dilakukan di mana saja seperti di rumah, tempat bekerja, atau di tempat lainnya yang anda kunjungi, namun tempat-tempat tersebut harus memenuhi syarat agar terhindar infeksi. 
Pemilihan tempat yang baik untuk pergantian cairan memiliki beberapa kriteria :
1.       Pastikan tempat tersebut  bersih, tidak ada hembusan agin (kipas angin, pintu / jendela terbuka), dan memiliki penerangan yang baik. 
  1. Tidak diperkenankan adanya binatang disekitar saat pergantian cairan dan di tempat penyimpanan peralatan anda. 
  2. Bebas gangguan dari luar.
2.2.5 Komplikasi
1. Peritonitis
Peritonotis merupakan komplikasi yang  paling sering dijumpai dan paling serius. Komplikasi ini terjadi pada 60-80% pasien yang menjalani dialysis peritoneal. Sebagian besar peritonitis disebabkan oleh kontaminasi staphylococcus epidermidis.
2. Kebocoran Cairan Dialisat
Kebocoran Cairan Dialisat  melalui luka insisi atau luka pada pemasangan kateter dapat segera diketahui sesudah kateter dipasang. Biasanya kebocoran tersebut berhenti spontan jika terapi dialysis ditunda selama beberapa hari untuk menyembuhkan luka insisi dan tempat keluarnya kateter.
3. Pendarahan
Cairan drainase (effluent) dialisat yang mengandung darah kadang-kadang dapat terlihat, khususnya pada wanita yang sedang haid. Cairan hipertonik menarik darah dari uterus lewat orifisium tuba falopi yang bermuara ke dalam kavum peritoneal.
Komplikasi lain
1)      Hernia abdomen, mungkin terjadi akibat peningkatan tekanan intraabdomen yang terus menerus.
2)      Hipertrigleserimida
3)      Nyeri punggung bawah dan anoreksia, akibat adanya cairan dalam rongga abdomen di samping rasa manis yang selalu pada indra pengecap yang berkaitan dengan absorpsi glukosa.
2.2.6 Manajemen Asuhan Keperawatan pada Pasien CAPD
A) Pengkajian
1)      Aktivitas dan istirahat
Gejala : kelelahan, kelemahan, dan malaise (perasaan tidak enak/kurang enak badan)
Tanda : kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentan gerak.
2)      Sirkulasi
Gejala : riwayat hipertensi lama atau berat; palpitasi; nyeri dada (angina)
Tanda : hipertensi ; nadi kuat; edema jaringan dan pitting pada kaki, dan telapak tangan. Disritmia jantung; Friction rub pericardial (respons terhadap akumulasi cairan) Pucat; kulit coklat kehijauan, kuning. Kecenderungan perdarahan.
3)      Integritas ego
Gejala: faktor stress (misalnya financial,hubungan dan sebagainya),perasaan tak berdaya,tak ada harapan,tak ada kekuatan.
Tanda: menolak, asietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian.
4)      Eliminasi
Gejala: penurunan frekuensi urin,oliguri,atau naluri,distensi abdomen,diare atau kostipasi.
Tanda: perubahan warna urin (kuning pekat,merah,atau coklat),oliguri atau anuri.
5)      Makanan dan cairan
Gejala: peningkatan berat badan cepat (edema),penurunan berat badan (malnutrisi),anoreksia,nyeri epigastrium,mual/muntah,napas bau amoniak.
Tanda: Distensi abdomen (asites),pembesaran hati (hepatomegali)
Perubahan turgor kulit,lembab
Edema
Ulserasi gusi,perdarahan gusi atau lidah
Penurunan kekuatan otot,penurunan lemak subkutan,penampilan tak bertenaga.
6)      Neurosensori
Gejala: sakit kepala,penglihatan kabur, Kram otot (kejang),rasa terbakar pada telapak kaki. Kesemutan dan kelemahan,khususnya ekstermitas bawah (neuropati perifer).
Tanda: Gangguan bstatus mental (misalnya penurunan lapang perhatian,ketidakmampuann berkonsentrasi,kehilangan memori,penurunan kesadaran,stupor atau koma. Tanda chovostek dan trousseau positif, Kejang,fasikulasi otot,aktivitas kejang. Rambut tipis,kuku rapuh dan tipis.
7)      Nyeri dan kenyamanan
Gejala: nyeri pangul,sakit kepala,kram otot,nyeri kaki
Tanda: perilaku berhati-hati (distraksi),gelisah.
8)      Pernapasan
Gejala: napas pendek,nocturnal paroxysmal dyspnea,batuk dengan atau tanpa sputum kental.
Tanda: takipnea,dispnea,pernapasan kussmaul (cepat dan dalam),batuk produktif dengan sputum merah muda dan encer (edema paru).
9)      Keamanan
Gejala: kulit gatal,ada atau berulangnya infeksi
Tanda: pruritos,demam (karena sepsis atau dehidrasi),petekie,ekimosis.
10)  Seksualitas
Gejala: penurunan libido,amenore,infertilitas
11)  Interaksi social
12)  Gejala: kesulitan menentukan kondisi (misalnya tidak mampu bekerja,atau mempertahankan fungsi peran biasanya dalam keluarga).


B.     Diagnosa Keperawatan
1) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan, berhubungan dengan gangguan gastrointestinal (akibat uremia); anoreksia, mual atau muntah; pembatasan diet.
2) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan terapi pembataan, penurunan kekuatan/kelemahan; gangguan persepsi atau kognitif.
3) Kurang perawatan diri berhubungan dengan gangguan persepsi atau kognitif (akumulasi toksin); intoleransi aktivitas; penurunan kekuatan dan ketahanan terhadap nyeri.
C.    Perencanaan dan implementasi
1)  Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan, berhubungan dengan gangguan gastrointestinal (akibat uremia); anoreksia,mual atau muntah;pembatasan diet.
Intervensi
Rasional
- Awasi konsumsi makanan/cairan dan hitung masukan kalori perhari.
- Anjurkan pasien mempertahankan masukan makanan harian,termasuk perkiraan jumlah konsumsi elektrolit dan protein.
- Ukuran massa otot melalui lipatan trisep.
- Perhatikan adanya mual dan muntah


- Kolaborasi dengan petugas gizi.

- Kolaborasi pemberian diet tinggi
karbohidrat dan pembatasan natrium/kalium sesuai indikasi.
- Kolaborasi pemberian multivitamin: asam askorbat, asam folat, vitamin D dan Fe sesuai indikasi.
- Berikan antimetik misalnya proklorperazin sesuai program.
- Mengidantifikasi kekurangan nutrisi/kekurangan terapi.
- Memungkinkan kesempatan untuk mengubah pilihan diet untuk memenuhi keinginan individu dalam pembatasan yang diidentifikasi.
- Mengkaji keadekuatan penggunaan nutrisi.
- Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah pemasukan.
- Untuk program diet individu untuk memenuhi kebutuhan gizi pasien.
- Memberikan nutrient cukup untuk memperbaiki energy dan menjaga keseimbangan elektrolit.
- Menggantikan kehilangan vitamin karena malnutrisi/anemi selama dialisis.

- Menurunkan stimulasi pada pusat muntah.
2) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan terapi pembataan,penurunan kekuatan/kelemahan;gangguan persepsi atau kognitif.
Intervensi
Rasional
- Kaji keterbatasan aktivitas,perhatikan adanya/derajat keterbatasan.
·         - Ubah posisi sesering mungkin bila tirah baring.

·        - Berikan pijatan.pertahankan kebersihan dan kekeringan kulit.

- Dorong napas dalam dan batuk. Tinggikan kepala tempat tidur sesuai yang diperbolehkan.

- Bantu dalam latihan rentang gerak aktif/pasif.


·      - Buat rencana program aktivitas dengan masukan dari pasien.
- Mempengaruhi pilihan intevensi.

- Menurunkan ketidaknyamanan, mempertahankan kekuatan otot dan sendi.
- Mengurangi sirkulasi,mencegah iritasi kulit.

·        - Memobilisasi sekresi,memperbaiki ekspansi paru dan menurunkan risiko komplikasi paru.

·        - Mempertahankan kelenturan sendi, mencegah kontraktur dan membantu menurunkan tegangan otot.

·         Meningkatkan energy dan perasaan sejahtera.
3) Kurang perawatan diri berhubungan dengan gangguan persepsi atau kognitif (akumulasi toksin);intoleransi aktivitas;penurunan kekuatan dan ketahanan terhadap nyeri.
Intervensi
Rasional
- Tentukan kemampuan pasien untuk berpartisipasi dalam aktivitas perawatan.
- Dorong untuk menggunakan teknik penghhematan energy, misalnya duduk, mandi duduk (tidak berdiri).
- Berikan bantuan dengan aktivitas yang diperlukan.
- Kondisi dasar akan menentukan tingkat kebutuhan.
- Menghemat energy,menurunkan kelelahan dan meningkatkan kemampuan pasien untuk melakukan tugas.
- Memenuhi kebutuhan dengan mendukung partisipasi dan kemandirian pasien.
D.    Evaluasi
1). Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan gangguan gastrointestinal (akibat uremia);anoreksia;mual muntah;pembatasan diet
Hasil yang diharapkan: Menunjukan berat badan stabil atau peningkatan mencapai tujuan dalam nilai laboratorium normal dan tidak ada tanda mallnutrisi.
2). Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan terapi pembatasan, penurunan kekuatan/kelemahan;gangguan musculoskeletal;gangguan presepsi atau kognitif.
Hasil yang diharapkan: Mempertahankan  mobilitas atau fungsi yang optimal;menunjukan peningkatan kekuatan otot;dan bebas dari komplikasi.
3). Kurang perawatan diri berhubungan dengan gangguan presepsi atau kognitif (akumulasi toksin);intoleransi aktifitas;penurunan kekuatan dan ketahanan terhadap nyeri.
Hasil yang diharapkan: Berpartisipasi pada aktifitas sehari-hari dalam tingkat kemampuan yang diperbolehkan.










BAB III
PEMBAHASAN JURNAL
3.1 Jurnal Terkait Hemodialisis
3.1.1 Jurnal dengan Judul “Hubungan Umur dan Lamanya Hemodialisis dengan Status Gizi pada Penderita Penyakit Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di RS. Dr. M. Djamil Padang”
Desain penelitian ini ialah “Cross Sectional Study” yang dilakukan pada bulan Juni 2013 – Oktober 2013 di Unit Hemodialisis di RS. Dr. M. Djamil Padang. Kriteria inklusi adalah semua penderita PGK yang menjalani hemodialisis. Kriteria eksklusi adalah penderita yang menolak ikut penelitian, penderita dengan keadaan yang tidak memungkinkan diperiksa BB, TB, LiLA dan Skin Fold misalnya sesak nafas, kesadaran menurun dan lain-lain. Data diolah dan dianalisis dengan menggunakan program SPSS.
Pada penelitian ini didapatkan umur termuda 22 tahun dan tertua 75 tahun dengan rata-rata umur 52,39 ± 10,39 tahun. Rentang usia terbanyak didapatkan pada usia 50-59 tahun yaitu sebesar 50,86%. Keadaan ini sesuai dengan gambaran umum penderita PGK yang menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti juga dilaporkan IRR pada tahun 2011 mendapatkan sebanyak 89% penderita PGK yang menjalani hemodialisis berumur 35-70 tahun dengan kelompok umur terbanyak 45-54 tahun yaitu 27%.
Pada penelitian ini didapatkan 36 orang (61,01%) laki-laki dan 23 orang (38,99%) perempuan, yang laki-laki berbanding perempuan = 1,6 : 1. Gambaran ini hampir sama dengan penderita PGK yang menjalani hemodialisis di Indonesia. Di Indonesia pada tahun 2011, terdapat sebanyak 6951 orang penderita PGK menjalani hemodialisis, terdiri dari 4180 orang laki-laki dan 2771 orang perempuan, atau laki-laki berbanding perempuan 1,5 : 1.
Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan umur, baik yang penilaian status gizinya dengan Skinfold maupun LILA (p>0,05).
Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan lamanya hemodialisis, baik penilaian status gizinya dengan Skinfold maupun LILA (p>0,05).




3.2 Jurnal Terkait Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
            3.2.1 Jurnal dengan Judul “Kejadian Peritonitis Pada Pasien Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis: Identifikasi Mikroorganisme Dan Sensitifitas Antibiotik”
            Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang analitik, dengan menggunakan uji statistik one-way  ANOVA, bertujuan untuk mengetahui berbagai macam mikroorganisme yang berhubungan dengan kejadian peritonitis, sensitifitas dan resistensi antibiotic pada pasien CAPD dengan komplikasi peritonitis.
            Pada penelitian ini didapatkan 23 sampel dari 77 pasien CAPD yang mengalami komplikasi peritonitis, dengan rerata umur 46,26 + 13,07 tahun, usia terendah 14 tahun, dan tertua 65 tahun. Jenis kelamin laki-laki 15 orang, wanita 8 orang.
            Pada penelitian ini, didapatkan peritonitis sebagai komplikasi terapi CAPD pada ESRD, masih merupakan masalah yang perlu menjadi perhatian, karena mengingat angka kesakitan yang tinggi, walaupun angka kematian akibat peritonitis tidak ada.
            Staphylococcus memiliki hubungan yang kuat terhadap kejadian peritonitis dan dalam hal ini tetrasiklin merupakan antibiotic yang memiliki sensititas tertinggi pada pasien dengan CAPD. Dari hasil analisa cairan peritoneal menunjukkan skor antibiotik secara berurutan dari yang paling sensitif: tetrasiklin dengan angka sensitifitas 22,93, ciproloxasin 19,36, piperacillin-tazobactam 17,36, trimetropin/sulfamethoxazole 16,5, fosfomicin 15,78 dan sisanya resisten. Pentingnya melakukan kultur pada cairan peritoneal dialysisakan menurunkan angka kesakitan.
            Berdasarkan rekomendasi dari International Society Peritoneal Dialysis oleh Piraino,  et  al. pemberian terapi antibiotik pada episode peritonitis pasien CAPD minimum selama 2 minggu, apabila kondisi berat, antibiotik dapat diberikan selama 3 minggu. Pada panduan tersebut pemberian antibiotic selain pada terapi peritonitis, juga dapat diberikan sebagai terapi preventif peritonitis pada pasien peritoneal dialisis.







BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Hemodialisa adalah salah satu terapi pengganti ginjal yang paling banyak dipilih oleh para penderita Gagal Ginjal Kronik. Pada prinsipnya terapi hemodialisa adalah untuk menggantikan kerja dari ginjal yaitu menyaring dan membuang sisa – sisa metabolisme dan kelebihan cairan, membantu menyeimbangkan unsur kimiawi dalam tubuh serta membantu menjaga tekanan darah.
2. Peritoneal dialysis adalah suatu proses dialysis di dalam rongga perut yang bekerja sebagai penampung cairan dialysis, dan peritoneum sebagai membrane semi permeable yang berfungsi sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan & solute yang berisi racun yang akan dibuang. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Peritoneal dialysis dibagi menjadi APD dan CAPD.


4.2 Saran
Dengan mengetahui konsep manajemen hemodialysis dan CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis) diharapkan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dan pendidikan kesehatan yang sesuai untuk klien.











DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.,. J.,.(2000) Diagnosa Keperawatan: Aplikasi pada Praktek Klinis Edisi 6. Jakarta: EGC
Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler.(1993). Rencana Asuhan Keperawatan untuk perencanaan dan pendukomentasian perawatan Pasien Edisi-3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Haryanti, E.,. et al.(2010). Jurnal Penyakit Dalam: Kejadian Peritonitis Pada Pasien Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis: Identifikasi Mikroorganisme dan Sensitifitas Antibiotik vol 11 no 2. Diakses pada tanggal 30 Desember 2014 dari http://ojs.unud.ac.id
Hudak, Gallo.(1996). Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran  EGC.
Mutaqin, Arif. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Price, Sylvia Anderson. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit  Ed. 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran  EGC
Rahardjo, Puji.(2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi III. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Soeparman & Waspadji, S.,.(1998). Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Syaiful, Hannie, Q.,. et al.(2014). Jurnal Kesehatan Andalas: Hubungan Umur dan Lamanya Hemodialisis dengan Status Gizi pada Penderita Penyakit Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di RS. Dr. M. Djamil Padang. Diakses pada tanggal 30 December 2014 dari http://fk.unand.ac.id

0 komentar:

Post a Comment