Suku Dunia ~ Orang Tamiang mendiami enam kecamatan
di Kabupaten Aceh Timur, yaitu Kecamatan Bendahara, Kejeruan Muda,
Seruway, Karang Baru, Tamiang Hulu dan Kuala Simpang. Pada zaman Belanda
daerah mereka termasuk ke dalam Kewedanaan Tamiang. Sekarang jumlah
populasinya sekitar 125.000 jiwa lebih.
Sumber Gambar : www.suara-tamiang.com |
Tidak penjelasan yang pasti tentang asal usul suku bangsa ini. Tapi ada
yang beranggapan bahwa orang Tamiang berasal dari penduduk Kerajaan
Melayu Raya yang mengungsi karena diserang Sriwijaya. Di tempat yang
baru ini mereka mendirikan beberapa kerajaan, seperti Bendahara, Sungai
Iyu, Sutan Muda Seruway, Karang Baru dan Keujeren Muda. Nama Tamiang
berasal dari bahasa Aceh, hitam mieng, artinya "pipi hitam". Nama itu
diberikah oleh Sultan Muhammad Thahir Bahiansyah (1326-1350) kepada Raja
Muda Setia (1330-1352), yaitu raja Tamiang pertama yang takluk kepada
Aceh. Menurut cerita raja Tamiang ini mempunyai tahi lalat besar di
pipinya. Dalam Kitab Negara Kertagama nama kerajaan itu ditulis
Tumihang.
Mata Pencaharian Suku Tamiang
Mata pencaharian utama masyarakat ini adalah bertani padi di sawah,
ladang, dan tegalan. Mata pencaharian lain adalah sebagai buruh atau
karyawan di perkebunan penambangan minyak, perusahaan kayu, nelayan,
tukang kayu, pegawai negeri dan lain-lain. Pertanian masih menggunakan
peralatan sederhana seperti pacul dan bajak yang ditarik kerbau atau
sapi. Sawah-sawah mereka umumnya adalah sawah tadah hujan. Tanaman keras
juga banyak yang mereka tanam, seperti kopi, karet, cengkeh, kelapa dan
buah-buahan.
Kekerabatan Dan Kekeluargaan Suku Tamiang
Kelompok kekerabatan yang paling kecil dalam masyarakat Tamiang adalah
keluarga inti yang mempunyai rumah tangga sendiri, namun masih tetap
tinggal di sekitar lingkungan pemukiman keluarga asalnya. Mereka masih
mengakui bentuk keluarga luas terbatas yang disebut kaum biak. Keluarga
luas terbatas ini terbagi menjadi dua paroh, yaitu belah ayah dan belah
ibu. Dalam kehidupan sosial sehari-hari mereka menggunakan prinsip
kerabat bilateral. Namun dalam masalah warisan dan garis keturunan
mereka memakai sistem patrilineal. Anak laki-laki yang paling tua amat
berperan dalam keluarga. Dalam kekerabatan mereka mempunyai istilah
panggilan menurut urutan lahir, anak pertama diberi sebutan ulung, anak
kedua ngah, anak ketiga alang, anak keempat andak, anak kelima uteh dan
anak paling bungsu uncu.
Hubungan kekerabatan dalam masyarakat ini disimpulkan dalam motto : Utang sama ditanggung, malu sama ditudung. Di mana baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan harus sama-sama menanggulangi beban kekerabatan. Sehingga dalam masyarakat ini seakan-akan ada suatu ambivalensi sistem kekerabatan. Kekerabatan yang mengandalkan kerja sama berdasarkan garis keturunan ayah ke atas disebut kelompok wali adat atau suku sakat. Tapi adakalanya mereka mengandalkan kekerabatan menurut garis keturunan ibu ke atas. Kelompok ini disebut wali kurung atau kaum biak, sifatnya matrivokal. Selain itu mereka melembagakan pula penghormatan kepada leluhur yang disebut ondatu, yaitu dengan mengaitkan silsilah diri dengan kedatuan tertentu, misalnya dengan Datu Empat Suku, Datu Delapan Suku, Dua Belas Pihak, dan Tiga Puluh Kerabat.
Pelapisan sosial dalam masyarakat Tamiang tidak tajam, walaupun masih ada kelompok tertentu yang dianggap bangsawan, yaitu golongan ughang bangsawan, yang ditandai dengan gelar-gelar yang mereka pakai. Ada pula golongan yang terpandang karena akal budi dan jasa-jasanya, mereka disebut ughang patut. Sementara itu orang kebanyakkan disebut ughang bepake. Lapisan lain timbul pula karena dukungan pendidikan tinggi dan harta kekayaan yang menaikkan martabatnya.
Bahasa Suku Tamiang
Bahasa Tamiang termasuk ke dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia atau
Austronesia. Dialeknya ditandai oleh pengucapan huruf r menjadi gh,
misalnya kata "orang" dibaca menjadi oghang. Sementara itu huruf t
sering dibaca c, misalnya kata "tiada" dibaca ciade.
Agama Dan Kepercayaan Suku Tamiang
Masyarakat ini menganut agama Islam, akan tetapi mereka juga masih
memiliki upacara-upacara tradisional yang berasal dari zaman sebelum
Islam, seperti kenduri blang, turun bibit, tulak bala dan sebagainya.
Referensi : Depdikbud 1989
0 komentar:
Post a Comment