BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Ginjal
memiliki peranan penting dalam tubuh manusia terutama dalam proses metabolisme,
menjaga keseimbangan cairan tubuh, dan pembentukan sejumlah vitamin serta
mineral (Falvo, 2005). Kerusakan ginjal tentu saja dapat menganggu mekanisme
biologis dalam tubuh. Salah satu bentuk kerusakan ginjal adalah gagal ginjal.
Gagal ginjal merupakan salah satu
penyakit kronis yang kini berkembang pesat di Indonesia. Pada tahun 2005,
Pernefri (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) mencatat sebanyak 118.750 kasus
gagal ginjal. Jumlah ini berkembang pesat di tahun 2012 menjadi 300.000 kasus.
Pernefri melaporkan kasus gagal ginjal di Indonesia dapat meningkat hingga
200.000 kasus setiap tahunnya.
Penyakit gagal ginjal terbagi dua yaitu
gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik. Penyakit gagal ginjal akut
menimbulkan kerusakan ginjal yang sifatnya temporer dan terjadi dalam waktu
singkat, sedangkan penyakit gagal ginjal kronis menimbulkan kerusakan ginjal
permanen yang terjadi secara menahun. Kerusakan ini menyebabkan menurunnya
fungsi ginjal manusia dan mencapai tahap akhir bila fungsi ginjak yang tersisa
hanya 15% saja. Sayangnya sampai saat ini belum ditemukan teknik pengobatan
yang dapat mengembalikan fungsi ginjal. Satu-satunya pilihan pasien adalah
menjalani terapi pengganti ginjal.
Terapi pengganti ginjal terbagi tiga,
yakni: transplantasi ginjal, hemodialisa dan CAPD. Metode transplantasi ginjal
dapat mengembalikan kapasitas fungi ginjal pasien sehingga meminimalisir
ketergantungan pasien terhadap layanan medis. Hemodialisa adalah suatu proses
yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi
dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien
dengan penyakit ginjal stadium terminal yang membutuhkan terapi jangka panjang
atau terapi permanen. CAPD merupakan salah satu terapi pengganti ginjal yang
fungsinya sama dengan hemodialisa, tetapi dengan metode yang berbeda.
Peritoneal dyalisis adalah metode cuci darah dengan bantuan membran peritoneum
(selaput rongga perut), jadi darah tidak perlu dikeluarkan dari tubuh untuk
dibersihkan dan disaring oleh mesin dialysis.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Hemodialisis?
2.
Apa etiologi hemodialysis?
3.
Apa saja kontraindikasi hemodialysis?
4.
Apa tujuan dilakukannya tindakan hemodialysis?
5.
Bagaimana prinsip dari tindakan hemodialysis?
6.
Apa saja peralatan hemodialysis itu?
7.
Bagaimana proses dilakukannya tindakan hemodialysis?
8.
Bagaimana pedoman pelaksanaan tindakan hemodialysis itu?
9.
Komplikasi apa saja yang terjadi akibat melakukan tindakan hemodialysis?
10.
Bagaimana manajemen asuhan keperawatan pada Pasien hemodialysis itu?
11.
Apa pengertian Continous Ambulatory
Dialisis Peritoneal (CAPD)?
12.
Apa etiologi Continous Ambulatory
Dialisis Peritoneal (CAPD)?
13.
Apa saja jenis-jenis dari Continous
Ambulatory Dialisis Peritoneal (CAPD)?
14.
Bagaimana proses dari tindakan Continous
Ambulatory Dialisis Peritoneal (CAPD)?
15.
Bagaimana manajemen asuhan keperawatan pada pasien Continous Ambulatory Dialisis Peritoneal (CAPD)?
1.3
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui pengertian Hemodialisis.
2.
Mengetahui etiologi hemodialysis.
3.
Mengetahui kontraindikasi hemodialysis.
4.
Mengetahui tujuan dilakukannya tindakan hemodialysis.
5.
Mengetahui prinsip dari tindakan hemodialysis.
6.
Mengetahui peralatan hemodialysis.
7.
Mengetahui proses hemodialisys.
8.
Mengetahui pedoman pelaksanaan tindakan hemodialysis.
9.
Mengetahui Komplikasi apa saja yang terjadi akibat melakukan tindakan
hemodialysis.
10.
Mengetahui manajemen asuhan keperawatan pada pasien hemodialysis.
11.
Mengetahui pengertian Continous
Ambulatory Dialisis Peritoneal (CAPD).
12.
Mengetahui etiologi Continous Ambulatory
Dialisis Peritoneal (CAPD).
13.
Mengetahui jenis-jenis Continous
Ambulatory Dialisis Peritoneal (CAPD).
14.
Mengetahui proses dari tindakan Continous
Ambulatory Dialisis Peritoneal (CAPD).
15.
Mengetahui manajemen asuhan keperawatan pada pasien Continous Ambulatory Dialisis Peritoneal (CAPD).
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Manajemen
Hemodialisis dan Continous Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD)
2.1 Manajemen
Hemodialisis
2.1.1 Pengertian
Dialisis merupakan suatu proses yang
digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika
ginjal tidak mampu melaksanakan fungsi tersebut.
Pada dialisis, molekul solut berdifusi lewat membran semipermeabel dengan cara mengalir dari sisi cairan yang lebih pekat (konsentrasi solut lebih tinggi) ke cairan yang lebih encer (konsentrasi solut lebih rendah). Cairan mengalir lewat membran semipermeabel dengan cara osmosis atau ultrafiltrasi (aplikasi tekakan eksternal pada membran).
Pada dialisis, molekul solut berdifusi lewat membran semipermeabel dengan cara mengalir dari sisi cairan yang lebih pekat (konsentrasi solut lebih tinggi) ke cairan yang lebih encer (konsentrasi solut lebih rendah). Cairan mengalir lewat membran semipermeabel dengan cara osmosis atau ultrafiltrasi (aplikasi tekakan eksternal pada membran).
Membran semipermeabel adalah lembar
tipis, berpori-pori terbuat dari selulosa atau bahan sintetik. Ukuran pori-pori
membran memungkinkan difusi zat dengan berat molekul rendah seperti urea,
kreatinin, dan asam urat berdifusi. Molekul air juga sangat kecil dan bergerak
bebas melalui membran, tetapi kebanyakan protein plasma, bakteri, dan sel-sel
darah terlalu besar untuk melewati pori-pori membran. Perbedaan konsentrasi zat
pada dua kompartemen disebut gradien konsentrasi.
Hemodialisa
adalah salah satu terapi pengganti ginjal yang paling banyak dipilih oleh para
penderita Gagal Ginjal Kronik. Pada prinsipnya terapi hemodialisa adalah untuk
menggantikan kerja dari ginjal yaitu menyaring dan membuang sisa – sisa
metabolisme dan kelebihan cairan, membantu menyeimbangkan unsur kimiawi dalam
tubuh serta membantu menjaga tekanan darah.
Terapi
dibutuhkan apabila fungsi ginjal seseorang telah mencapai tingkatan terakhir
(stage 5) dari gagal ginjal kronik. Dokter akan menentukan tingkatan fungsi
ginjal seseorang berdasarkan perhitungan GFR atau Glomerular Filtration Rate,
dimana pada tingkatan GFR dibawah 15, ginjal seseorang dinyatakan masuk dalam kategori
gagal ginjal terminal (End Stage Renal Disease).
Sehelai
membran sintetik yang semipermeabel menggantikan glomerolus serta tubulus renal
dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya.
Sistem ginjal buatan:
Sistem ginjal buatan:
1. Membuang produk metabolisme protein
seperti urea, kreatinin, dan asam urat.
2. Membuang kelebihan air dengan
mempengaruhi tekanan banding antara darah dan bagian cairan, biasanya terdiri
atas tekanan positif dalam arus darah dan tekanan negatif (penghisap) dalam
kompartemen dialisat (proses ultrafiltrasi).
3. Mempertahankan dan mengembalikan
system buffer tubuh.
4. Mempertahankan atau mengembalikan
kadar elektrolit tubuh.
2.1.2 Etiologi
Hemodialisa dilakukan kerena pasien
menderita gagal ginjal akut dan kronik akibatdari : azotemia, simtomatis berupa
enselfalopati, perikarditis, uremia, hiperkalemia berat, kelebihan cairan yang
tidak responsive dengan diuretic, asidosis yang tidak bisadiatasi, batu ginjal,
dan sindrom hepatorenal.
2.1.3 Kontraindikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997)
kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif terhadap
presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik. Sedangkan menurut
PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak mungkin
didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas
hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya
adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis
hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003).
2.1.4 Tujuan Hemodialisa
Menurut Havens dan Terra (2005)
tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :
1. Menggantikan fungsi ginjal dalam
fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum,
kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
2. Menggantikan fungsi ginjal dalam
mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal
sehat.
3. Meningkatkan kualitas hidup
pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
4. Menggantikan fungsi ginjal sambil
menunggu program pengobatan yang lain.
2.1.5 Prinsip Hemodialisa
Prinsip mayor/proses hemodialisa
adalah:
a. Akses Vaskuler :
Seluruh dialysis membutuhkan akses
ke sirkulasi darah pasien. Kronik biasanya memiliki akses permanent seperti
fistula atau graf sementara. Akut memiliki akses temporer seperti vascoth.
b. Membran semi permeable
Hal ini ditetapkan dengan dialyser
actual dibutuhkan untuk mengadakan kontak diantara darah dan dialisat sehingga
dialysis dapat terjadi.
c. Difusi
Dalam dialisat yang konvesional,
prinsip mayor yang menyebabkan pemindahan zat terlarut adalah difusi substansi.
Berpindah dari area yang konsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi rendah.
Gradien konsentrasi tercipta antara darah dan dialisat yang menyebabkan
pemindahan zat pelarut yang diinginkan. Mencegah kehilangan zat yang
dibutuhkan.
d. Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama
hemodialisis, cairan yang dipindahkan akan mengambil bersama dengan zat
terlarut yang tercampur dalam cairan tersebut.
e. Ultrafiltrasi
Proses dimana cairan dipindahkan
saat dialysis dikenali sebagai ultrafiltrasi artinya adalah pergerakan dari
cairan akibat beberapa bentuk tekanan. Tiga tipe dari tekanan dapat terjadi
pada membrane :
1) Tekanan
positip merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan dalam
membrane. Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser dan resisten
vena terhadap darah yang mengalir balik ke fistula tekanan positip “mendorong”
cairan menyeberangi membrane.
2) Tekanan
negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar membrane oleh pompa
pada sisi dialisat dari membrane tekanan negative “menarik” cairan keluar
darah.
3) Tekanan
osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang berhubungan dengan
konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut. Larutan dengan kadar zat
terlarut yang tinggi akan menarik cairan dari larutan lain dengan konsentrasi
yang rendah yang menyebabkan membrane permeable terhadap air.
2.1.6 Peralatan Hemodialisa
1. Arterial – Venouse Blood Line
(AVBL)
AVBL terdiri dari :
a) Arterial Blood Line (ABL)
Adalah tubing tubing/line plastic
yang menghubungkan darah dari tubing akses vaskular tubuh pasien menuju
dialiser, disebut Inlet ditandai dengan warna merah.
b) Venouse Blood Line
Adalah tubing/line plastic yang
menghubungkan darah dari dialiser dengan tubing akses vascular menuju tubuh
pasien disebut outlet ditandai dengan warna biru. Priming volume AVBL antara
100-500 ml. priming volume adalah volume cairan yang diisikan pertama kali pada
AVBL dan kompartemen dialiser.
Bagian-bagian dari AVBL dan
kopartemen adalah konektor, ujung runcing,segmen pump,tubing arterial/venouse
pressure,tubing udara,bubble trap,tubing infuse/transfuse set, port biru obat
,port darah/merah herah heparin,tubing heparin dan ujung tumpul.
2. Dializer /ginjal buatan
(artificial kidney)
Adalah suatu alat dimana proses
dialisis terjadi terdiri dari 2 ruang /kompartemen,yaitu:
·
Kompartemen
darah yaitu ruangan yang berisi darah
·
Kompartemen
dialisat yaitu ruangan yang berisi dialisat
Kedua kompartemen dipisahkan oleh membran
semipermiabel.
Dialiser mempunyai 4 lubang yaitu
dua ujung untuk keluar masuk darah dan dua samping untuk keluar masuk dialisat.
3. Air Water Treatment
Air dalam tindakan hemodialis
dipakai sebagai pencampur dialisat peka (diasol). Air ini dapat berasal dari
berbagai sumber, seperti air PAM dan air sumur, yang harus dimurnikan dulu
dengan cara “water treatment” sehingga memenuhi standar AAMI (Association for
the Advancement of Medical Instrument). Jumlah air yang dibutuhkan untuk satu
session hemodilaisis seorang pasien adalah sekitar 120 Liter.
4. Larutan Dialisat
Dialisat adalah larutan yang
mengandung elektrolit dalam komposisi tertentu. Dipasaran beredar dua macam
dialisat yaitu dialisat asetat dan dialisat bicarbonate. Dialisat asetat
menurut komposisinya ada beberapa macam yaitu : jenis standart, free potassium,
low calsium dan lain-lain. Bentuk bicarbonate ada yang powder, sehingga sebelum
dipakai perlu dilarutkan dalam air murni/air water treatment sebanyak 9,5 liter
dan ada yang bentuk cair (siap pakai).
5. Mesin Hemodialisis
Ada bermacam-macam mesin
haemodilisis sesuai dengan merek nya. Tetapi prinsipnya sama yaitu blood pump,
system pengaturan larutan dilisat, system pemantauan mesin terdiri dari blood
circuit dan dillisat circuit dan bebagai monitor sebagai deteksi adanya
kesalahan. Dan komponen tambahan seperti heparin pump, tombol bicarbonate,
control ultrafiltrasi, program ultrafiltrasi, kateter vena, blood volume monitor.
2.1.7 Proses Hemodialisa
Pada proses hemodialisa, darah
dialirkan ke luar tubuh dan disaring di dalam ginjal buatan (dialyzer). Darah
yang telah disaring kemudian dialirkan kembali ke dalam tubuh. Rata – rata
manusia mempunyai sekitar 5,6 s/d 6,8 liter darah, dan selama proses
hemodialisa hanya sekitar 0,5 liter yang berada di luar tubuh. Untuk proses
hemodialisa dibutuhkan pintu masuk atau akses agar darah dari tubuh dapat
keluar dan disaring oleh dialyzer kemudian kembali ke dalam tubuh. Terdapat 3 jenis
akses yaitu arteriovenous (AV) fistula, AV graft dan central venous catheter.
AV fistula adalah akses vaskular yang paling direkomendasikan karena cenderung
lebih aman dan juga nyaman untuk pasien. Sebelum melakukan proses hemodialisa
(HD), perawat akan memeriksa tanda – tanda vital pasien untuk memastikan apakah
pasien layak untuk menjalani Hemodialysis. Selain itu pasien melakukan timbang
badan untuk menentukan jumlah cairan didalam tubuh yang harus dibuang pada saat
terapi. Langkah berikutnya adalah menghubungkan pasien ke mesin cuci darah
dengan memasang blod line (selang darah) dan jarum ke akses vaskular pasien,
yaitu akses untuk jalan keluar darah ke dialyzer dan akses untuk jalan masuk
darah ke dalam tubuh. Setelah semua terpasang maka proses terapi hemodialisa
dapat dimulai. Pada proses hemodialisa, darah sebenarnya tidak mengalir melalui
mesin HD, melainkan hanya melalui selang darah dan dialyzer. Mesin HD sendiri
merupakan perpaduan dari komputer dan pompa, dimana mesin HD mempunyai fungsi
untuk mengatur dan memonitor aliran darah, tekanan darah, dan memberikan
informasi jumlah cairan yang dikeluarkan serta informasi vital lainnya. Mesin
HD juga mengatur cairan dialisat yang masuk ke dialyzer, dimana cairan tersebut
membantu mengumpulkan racun – racun dari darah. Pompa yang ada dalam mesin HD
berfungsi untuk mengalirkan darah dari tubuh ke dialyzer dan mengembalikan
kembali ke dalam tubuh.
2.1.8 Pedoman Pelaksanaan Hemodialisa
1. Perawatan sebelum hemodialisa
Sambungkan selang air dengan mesin
hemodialisa
Kran air dibuka
Pastikan selang pembuang air dan
mesin hemodialisis sudah masuk kelubang atau saluran pembuangan
Sambungkan kabel mesin
hemodialisis ke stop kontak
Hidupkan mesin
Pastikan mesin pada posisi rinse
selama 20 menit
Matikan mesin hemodialisis
Masukkan selang dialisat ke dalam
jaringan dialisat pekat
Sambungkan slang dialisat dengan
konektor yang ada pada mesin hemodialisis
Hidupkan mesin dengan posisi
normal (siap)
2. Menyiapkan sirkulasi darah
Bukalah alat-alat dialysis dari
set nya
Tempatkan dializer pada tempatnya
dan posisi “inset” (tanda merah) diatas dan posisi “outset” (tanda biru) di
bawah.
Hubungkan ujung merah dari ABL
dengan ujung “inset”dari dializer.
Hubungkan ujung biru dari UBL
dengan ujung “out set” dari dializer dan tempatkan buble tap di holder dengan
posisi tengah..
Set infus ke botol NaCl 0,9% – 500
cc
Hubungkan set infus ke slang
arteri
Bukalah klem NaCl 0,9%, isi slang
arteri sampai ke ujung slang lalu diklem.
Memutarkan letak dializer dengan
posisi “inset” di bawah dan “out set” di atas, tujuannya agar dializer bebas
dari udara.
Tutup klem dari slang untuk
tekanan arteri, vena, heparin
Buka klem dari infus set ABL, VBL
Jalankan pompa darah dengan
kecepatan mula-mula 100 ml/menit, kemudian naikkan secara bertahap sampai
dengan 200 ml/menit.
Isi bable-trap dengan NaCl 0,9%
sampai ¾ cairan
Berikan tekanan secara intermiten
pada VBL untuk mengalirkan udara dari dalam dializer, dilakukan sampai dengan
dializer bebas udara (tekanan lebih dari 200 mmHg).
Lakukan pembilasan dan pencucian
dengan NaCl 0,9% sebanyak 500 cc yang terdapat pada botol (kalf) sisanya
ditampung pada gelas ukur.
Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong
dengan kalf NaCl 0,9% baru
Sambungkan ujung biru VBL dengan
ujung merah ABL dengan menggunakan konektor.
Hidupkan pompa darah selama 10
menit. Untuk dializer baru 15-20 menit untuk dializer reuse dengan aliran
200-250 ml/menit.
Kembalikan posisi dializer ke
posisi semula di mana “inlet” di atas dan “outlet” di bawah.
Hubungkan sirkulasi darah dengan
sirkulasi dialisat selama 5-10 menit, siap untuk dihubungkan dengan pasien soaking.
3. Persiapan pasien
Menimbang berat badan
Mengatur posisi pasien
Observasi keadaan umum
Observasi tanda-tanda vital
Melakukan kamulasi/fungsi untuk
menghubungkan sirkulasi, biasanya mempergunakan salah satu jalan darah/blood
akses seperti di bawah ini:
• Dengan interval A-V shunt /
fistula simino
• Dengan external A-V shunt /
schungula
• Tanpa 1 – 2 (vena pulmonalis)
2.1.9 Komplikasi
Menurut Tisher dan Wilcox (1997)
serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan hemodialisa sering sekali
ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain :
1) Ketidakseimbangan Cairan
a. Hipervolemia
Temuan berikut ini mengisyaratkan
adanya kelebihan cairan seperti tekanan darah naik, peningkatan nadi, dan
frekuensi pernafasan, peningkatan tekanan vena sentral, dispnea, batuk, edema,
penambahan BB berlebih sejak dialysis terakhir
b. Hipovolemia
Petunjuk terhadap hipovolemia
meliputi penurunan TD, peningkatan frekuensi nadi, pernafasan, turgor kulit
buruk, mulut kering, tekanan vena sentral menurun, dan penurunan haluaran
urine. Riwayat kehilangan banyak cairan melalui lambung yang menimbulkan
kehilangan BB yang nantinya mengarah ke diagnosa keperawatan kekurangan cairan.
c. Ultra filtrasi
Gejala ultrafiltarasi berlebihan
adalah mirip syok dengan gejala hipotensi, mual muntah, berkeringat, pusing dan
pingsan.
d. Rangkaian ultrafiltrasi
(Diafiltrasi)
Ultrafiltrasi cepat untuk tujuan
menghilangkan atau mencegah hipertensi, gagal jantung kongestif, edema paru dan
komplikasi lain yang berhubungan dengan kelebihan cairan seringkali dibatasi
oleh toleransi pasien untuk memanipulasi volume intravaskular.
e. Hipotensi
Hipotensi selama dialysis dapat
disebabkan oleh hipovolemia, ultrafiltrasi berlebihan, kehilangan darah ke
dalam dialiser, inkompatibilitas membran pendialisa, dan terapi obat
antihipertensi.
f. Hipertensi
Penyebab hipertensi yang paling
sering adalah kelebihan cairan, sindrom disequilibrium, respon renin terhadap
ultrafiltrasi dan ansites.
g. Sindrome Disequilibrium Dialysis
Dimanifestasikan olehh sekelompok
gejala yang diduga disfungsiserebral dengan rentang dari mual muntah, sakit
kepala, hipertensi sampai agitasi, kedutan, kekacauan mental, dan kejang.
2) Ketidakseimbangan Elektrolit
Elektrolit merupakan perhatian utama
dalam dialisis, yang normalnya dikoreksi selama prosedur adalah natrium,
kalium, bikarbonat, kalisum, fosfor, dan magnesium.
3) Infeksi
Pasien uremik mengalami penurunan
resisten terhadap infeksi, yang diperkirakan karena penurunan respon
imunologik. Infeksi paru merupakan penyebab utama kematian pada pasein uremik.
4) Perdarahan dan Heparinisasi
Perdarahan selama dialysis mungkin
karena konsidi medik yang mendasari seperti ulkus atau gastritis atau mungkin
akibat antikoagulasi berlebihan. Heparin adalah obat pilihan karena
pemberiannya sederhana, meningkatkan masa pembekuan dengan cepat, dimonitor
dengan mudah dan mungkin berlawanan dengan protamin.
2.1.10 Manajemen Asuhan Keperawatan pada Pasien Hemodialisis
A) Pengkajian
1. Keluhan utama
Tanda-tanda dan gejala uremia yang
mengenai system tubuh (mual, muntah, anoreksia berat, peningkatan letargi,
konfunsi mental), kadar serum yang meningkat.
2. Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien penderita gagal ginjal
kronis (stadium terminal).
3. Riwayat obat-obatan
Pasien yang menjalani dialisis,
semua jenis obat dan dosisnya harus dievaluasi dengan cermat. Terapi
antihipertensi, yang sering merupakan bagian dari susunan terapi dialysis,
merupakan salah satu contoh di mana komunikasi, pendidikan dan evaluasi dapat
memberikan hasil yang berbeda. Pasien harus mengetahui kapan minum obat dan
kapan menundanya. Sebagai contoh, obat antihipertensi diminum pada hari yang
sama dengan saat menjalani hemodialisis, efek hipotensi dapat terjadi selama
hemodialisis dan menyebabkan tekanan darah rendah yang berbahaya.
4. Psikospiritual
Penderita hemodialisis jangka
panjang sering merasa kuatir akan kondisi penyakitnya yang tidak dapat
diramalkan. Biasanya menghadapi masalah financial, kesulitan dalam
mempertahankan pekerjaan, dorongan seksual yang menghilang serta impotensi,
dipresi akibat sakit yang kronis dan ketakutan terhadap kematian.
Prosedur kecemasan merupakan hal
yang paling sering dialami pasien yang pertama kali dilakukan hemodialisis.
5. ADL (Activity Daily Living)
Nutrisi : Pasien dengan hemodialisis harus diet ketat dan pembatasan
cairan masuk untuk meminimalkan gejala seperti penumpukan cairan yang dapat
mengakibatkan gagal jantung kongesti serta edema paru, pembatasan pada asupan
protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian
meminimalkan gejala, mual muntah.
Eliminasi : Oliguri dan anuria untuk gagal
Aktivitas : dialisis menyebabkan perubahan gaya
hidup pada keluarga. Waktu yang diperlukan untuk terapi dialisis akan
mengurangi waktu yang tersedia untuk melakukan aktivitas sosial dan dapat
menciptakan konflik, frustasi. Karena waktu yang terbatas dalam menjalani
aktivitas sehai-hari.
6. Pemeriksaan fisik
BB : Setelah melakukan hemodialisis biasanya berat badan akan
menurun.
TTV: Sebelum dilakukan prosedur
hemodialisis biasanya denyut nadi dan tekanan darah diatas rentang normal.
Kondisi ini harus di ukur kembali pada saat prosedur selesai dengan
membandingkan hasil pra dan sesudah prosedur.
B2 : hipotensi, turgor kulit menurun
7. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
- Urine lengkap
- Darah lengkap meliputi: Hb,Hct, L, Trombosit, LED, Ureum pre dan post, kreatinin pre dan post, protein total, albumin, globulin, SGOT-SGPT, bilirubin, gama gt, alkali fosfatase, kalsium, fosfor, kalium, natrium, klorida, gula darah, SI, TIBC, saturasi transferin, feritin serum, pth, vit D, kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida, asam urat, Hbs Ag, antiHCV, anti HIV, CRP, astrup:pH/P02/pC02/HCO3
- Biasanya dapat ditemukan adanya: anemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemi, ureumikum, kreatinin meningkat, pH darah rendah, GD klien DM menurun
Radiologi
- Rontgen, Usg, Echo: kemungkinan ditemukan adanya gambaran pembesaran jantung, adanya batu saluran kencing/ginjal, ukuran korteks, gambaran keadaan ginjal, adanya pembesaran ukuran ginjal, vaskularisasi ginjal.
- Sidik nuklir dapat menentukan GFR (Glomerulo Filtration Rate)
EKG
- Dapat dilihat adanya pembesaran jantung, gangguan irama, hiperkalemia, hipoksia miokard.
Biopsi
- Mendeteksi adanya keganasan pada jaringan ginjal.
B) Diagnosa Keperawatan
NO.
|
Diagnosa
Keperawatan
|
Pre Hemodialisis
|
|
1.
|
Ansietas
berhubungan dengan krisis situasional mengenai tindakan yang akan dilakukan.
|
Intra
Hemodialisis
|
|
2.
|
Resiko tinggi terhadap kehilangan
akses vaskuler berhubungan dengan perdarahan karena lepas sambungan secara
tidak sengaja.
|
3.
|
Resiko tinggi kekurangan volume
cairan berhubungan dengan ultrafiltrasi.
|
4.
|
Resiko tinggi kelebihan volume
cairan berhubungan dengan pemasukan cairan untuk mendukung
tekanan darah selama dialisa.
|
5.
|
Resiko
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah
|
Post Hemodialisis
|
|
6.
|
Ansietas
berhubungan dengan perubahan dengan status kesehatan atau fungsi peran
|
7.
|
Resiko tinggi
infeksi berhubungan dengan kontaminasi kulit pada sisi pemasangan kateter
|
2.2
Manajemen Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
2.2.1 Pengertian
Peritoneal
dialysis adalah suatu proses dialysis di dalam rongga perut yang bekerja
sebagai penampung cairan dialysis, dan peritoneum sebagai membrane semi
permeable yang berfungsi sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang
berlebihan & solute yang berisi racun yang akan dibuang. Cairan dimasukkan melalui sebuah
selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan harus
dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah metabolik dari aliran darah
secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut. Kemudian cairan dikeluarkan,
dibuang dan diganti dengan cairan yang baru. Biasanya digunakan selang karet
silikon yang lembut atau selang poliuretan yang berpori-pori, sehingga cairan
mengalir secara perlahan dan tidak terjadi kerusakan.
Rongga
peritoneum adalah bagian dari perut yang membungkus organ-organ, seperti
lambung, ginjal, usus, dll. Di dalam rongga perut ini terdapat banyak sel-sel
darah kecil (kapiler) yang berada pada satu sisi dari membran peritoneum dan
cairan dialysis pada sisi yang lain. Rongga peritoneum berisi + 100ml cairan
yang berfungsi untuk lubrikasi / pelicin dari membran peritoneum. Pada orang
dewasa normal, rongga peritoneum dapat mentoleransi cairan > 2 liter tanpa
menimbulkan gangguan.
Membran
peritoneum merupakan lapisan tipis bersifat semi permeable. Luas permukaan +
1,55m2 yang terdiri dari 2 bagian, yaitu:
a.
Bagian
yang menutupi / melapisi dinding rongga perut (parietal peritoneum), + 20% dari
total luas membran peritoneum.
b. Bagian
yang menutup organ di dalam perut (vasceral peritoneum), + 80% dari luas total
membran peritoneum.
Total suplai darah pada membran peritoneum dalam keaadan basal + 60 – 100 ml/mnt.
Total suplai darah pada membran peritoneum dalam keaadan basal + 60 – 100 ml/mnt.
2.2.2
Etiologi
Adapun
penyebab dilakukan tindakan dialysis
peritoneal adalah :
a. Pembuangan
cairan yang berlebihan, toksin atau obat karena tidak adekuatnya gradient
osmotic dialisat
b. Kehilangan
darah aktual (heparinisasi sitemik atau pemutusan aliran darah)
c. Distensi
abdomen atau konstipasi
d. Penurunan
area ventilasi dimana bunyi nafas adventisius menunjukkan kelebihan cairan,
tertahannya sekresi dan infeksi.
e. Penggunaan
dialisat hipertonik dengan pembuangan cairan yang berlebihan dari volume
sirkulasi.
2.2.3
Jenis Peritoneal Dialisis
- APD (Automated Peritoneal Dialysis) / Dialysis Peritoneal Otomatis. Merupakan bentuk terapi dialysis peritoneal yang baru dan dapat dilakukan di rumah, pada malam hari sewaktu tidur dengan menggunakan mesin khusus yang sudah diprogram terlebih dahulu. Mesin khusus ini dapat dibawa ke mana saja, dikarenakan mesin ini tidak bekerja dengan daya gravitasi maka keharusan untuk menimbang dan menggantung kantung cairan.
- CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis) / Dialysis Peritoneal Mandiri Berkesinambungan. Bedanya tidak menggunakan mesin khusus seperti APD. Dialysis peritoneal diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk dialysis) ke dalam rongga perut melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam. Yang dimaksud dengan kateter adalah selang plastik kecil (silikon) yang dimasukan ke dalam rongga peritoneal melalui pembedahan sederhana, kateter ini berfungsi untuk mengalirkan cairan dialysis peritoneal keluar dan masuk rongga peritoneum anda. Ketika dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat.
2.2.4 Proses Continous
Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
Dalam
peritoneal dialysis dilakukan pergantian cairan setiap hari tanpa menimbulkan
rasa sakit. Proses mengeluarkan cairan tersebut dalam jangka waktu tertentu dan
kemudian menggantikannya dengan cairan baru. Proses ini terdiri dalam 3
langkah:
- Mengeluarkan cairan, proses pengeluaran cairan dari rongga peritoneal berlangsung dengan bantuan gaya gravitasi dan memerlukan waktu sekitar 20 menit.
- Memasukan cairan, cairan dialysis ke dalam rongga peritoneal melalui kateter dan memerlukan proses 10 menit.
- Waktu tinggal, tahap cairan disimpan di dalam rongga peritoneal selama 4 sampai 6 jam (tergantung anjuran dari dokter). Pergantian cairan diulang setiap 4 atau 6 jam, dengan maksud minimal 4 kali sehari, 7 hari dalam seminggu. Pergantian dapat dilakukan di mana saja seperti di rumah, tempat bekerja, atau di tempat lainnya yang anda kunjungi, namun tempat-tempat tersebut harus memenuhi syarat agar terhindar infeksi.
Pemilihan tempat yang baik untuk pergantian cairan memiliki
beberapa kriteria :
1. Pastikan tempat tersebut bersih, tidak ada hembusan agin (kipas angin,
pintu / jendela terbuka), dan memiliki penerangan yang baik.
- Tidak diperkenankan adanya binatang disekitar saat pergantian cairan dan di tempat penyimpanan peralatan anda.
- Bebas gangguan dari luar.
2.2.5 Komplikasi
1. Peritonitis
Peritonotis merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai dan paling serius.
Komplikasi ini terjadi pada 60-80% pasien yang menjalani dialysis peritoneal.
Sebagian besar peritonitis disebabkan oleh kontaminasi staphylococcus
epidermidis.
2. Kebocoran Cairan Dialisat
Kebocoran Cairan Dialisat
melalui luka insisi atau luka pada pemasangan kateter dapat segera
diketahui sesudah kateter dipasang. Biasanya kebocoran tersebut berhenti
spontan jika terapi dialysis ditunda selama beberapa hari untuk menyembuhkan
luka insisi dan tempat keluarnya kateter.
3. Pendarahan
Cairan drainase (effluent) dialisat yang mengandung darah
kadang-kadang dapat terlihat, khususnya pada wanita yang sedang haid. Cairan
hipertonik menarik darah dari uterus lewat orifisium tuba falopi yang bermuara
ke dalam kavum peritoneal.
Komplikasi lain
1) Hernia abdomen, mungkin terjadi akibat
peningkatan tekanan intraabdomen yang terus menerus.
2) Hipertrigleserimida
3) Nyeri punggung bawah dan anoreksia, akibat
adanya cairan dalam rongga abdomen di samping rasa manis yang selalu pada indra
pengecap yang berkaitan dengan absorpsi glukosa.
2.2.6 Manajemen Asuhan Keperawatan
pada Pasien CAPD
A) Pengkajian
1) Aktivitas dan
istirahat
Gejala : kelelahan, kelemahan, dan malaise (perasaan tidak
enak/kurang enak badan)
Tanda : kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentan
gerak.
2) Sirkulasi
Gejala : riwayat hipertensi lama atau berat; palpitasi;
nyeri dada (angina)
Tanda : hipertensi ; nadi kuat; edema jaringan dan pitting
pada kaki, dan telapak tangan. Disritmia jantung; Friction rub pericardial (respons
terhadap akumulasi cairan) Pucat; kulit coklat kehijauan, kuning. Kecenderungan
perdarahan.
3) Integritas ego
Gejala: faktor stress (misalnya financial,hubungan dan
sebagainya),perasaan tak berdaya,tak ada harapan,tak ada kekuatan.
Tanda: menolak, asietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian.
4) Eliminasi
Gejala: penurunan frekuensi urin,oliguri,atau
naluri,distensi abdomen,diare atau kostipasi.
Tanda: perubahan warna urin (kuning pekat,merah,atau
coklat),oliguri atau anuri.
5) Makanan dan
cairan
Gejala: peningkatan berat badan cepat (edema),penurunan
berat badan (malnutrisi),anoreksia,nyeri epigastrium,mual/muntah,napas bau
amoniak.
Tanda: Distensi abdomen (asites),pembesaran hati
(hepatomegali)
Perubahan turgor kulit,lembab
Edema
Ulserasi gusi,perdarahan gusi atau lidah
Penurunan kekuatan otot,penurunan lemak subkutan,penampilan
tak bertenaga.
6) Neurosensori
Gejala: sakit kepala,penglihatan kabur, Kram otot (kejang),rasa
terbakar pada telapak kaki. Kesemutan dan kelemahan,khususnya ekstermitas bawah
(neuropati perifer).
Tanda: Gangguan bstatus mental (misalnya penurunan lapang
perhatian,ketidakmampuann berkonsentrasi,kehilangan memori,penurunan
kesadaran,stupor atau koma. Tanda chovostek dan trousseau positif, Kejang,fasikulasi
otot,aktivitas kejang. Rambut tipis,kuku rapuh dan tipis.
7) Nyeri dan
kenyamanan
Gejala: nyeri pangul,sakit kepala,kram otot,nyeri kaki
Tanda: perilaku berhati-hati (distraksi),gelisah.
8) Pernapasan
Gejala: napas pendek,nocturnal paroxysmal dyspnea,batuk
dengan atau tanpa sputum kental.
Tanda: takipnea,dispnea,pernapasan kussmaul (cepat dan
dalam),batuk produktif dengan sputum merah muda dan encer (edema paru).
9) Keamanan
Gejala: kulit gatal,ada atau berulangnya infeksi
Tanda: pruritos,demam (karena sepsis atau
dehidrasi),petekie,ekimosis.
10) Seksualitas
Gejala: penurunan libido,amenore,infertilitas
11) Interaksi social
12) Gejala: kesulitan
menentukan kondisi (misalnya tidak mampu bekerja,atau mempertahankan fungsi
peran biasanya dalam keluarga).
B. Diagnosa Keperawatan
1) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan, berhubungan
dengan gangguan gastrointestinal (akibat uremia); anoreksia, mual atau muntah; pembatasan
diet.
2) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan terapi
pembataan, penurunan kekuatan/kelemahan; gangguan persepsi atau kognitif.
3) Kurang perawatan diri berhubungan dengan gangguan
persepsi atau kognitif (akumulasi toksin); intoleransi aktivitas; penurunan
kekuatan dan ketahanan terhadap nyeri.
C.
Perencanaan dan implementasi
1) Perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan, berhubungan dengan gangguan gastrointestinal (akibat
uremia); anoreksia,mual atau muntah;pembatasan diet.
Intervensi
|
Rasional
|
-
Awasi konsumsi makanan/cairan dan hitung masukan kalori perhari.
-
Anjurkan pasien mempertahankan masukan makanan harian,termasuk perkiraan
jumlah konsumsi elektrolit dan protein.
-
Ukuran massa otot melalui lipatan trisep.
-
Perhatikan adanya mual dan muntah
-
Kolaborasi dengan petugas gizi.
-
Kolaborasi pemberian diet tinggi
karbohidrat
dan pembatasan natrium/kalium sesuai indikasi.
-
Kolaborasi pemberian multivitamin: asam askorbat, asam folat, vitamin D dan
Fe sesuai indikasi.
-
Berikan antimetik misalnya proklorperazin sesuai program.
|
-
Mengidantifikasi kekurangan nutrisi/kekurangan terapi.
-
Memungkinkan kesempatan untuk mengubah pilihan diet untuk memenuhi keinginan
individu dalam pembatasan yang diidentifikasi.
-
Mengkaji keadekuatan penggunaan nutrisi.
-
Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah pemasukan.
-
Untuk program diet individu untuk memenuhi kebutuhan gizi pasien.
-
Memberikan nutrient cukup untuk memperbaiki energy dan menjaga keseimbangan
elektrolit.
-
Menggantikan kehilangan vitamin karena malnutrisi/anemi selama dialisis.
-
Menurunkan stimulasi pada pusat
muntah.
|
2) Kerusakan mobilitas fisik
berhubungan dengan terapi pembataan,penurunan kekuatan/kelemahan;gangguan
persepsi atau kognitif.
Intervensi
|
Rasional
|
- Kaji
keterbatasan aktivitas,perhatikan adanya/derajat keterbatasan.
·
- Ubah posisi sesering mungkin bila tirah
baring.
· - Berikan pijatan.pertahankan kebersihan dan
kekeringan kulit.
- Dorong
napas dalam dan batuk. Tinggikan kepala tempat tidur sesuai yang
diperbolehkan.
- Bantu
dalam latihan rentang gerak aktif/pasif.
· - Buat rencana program aktivitas dengan
masukan dari pasien.
|
- Mempengaruhi
pilihan intevensi.
- Menurunkan
ketidaknyamanan, mempertahankan kekuatan otot dan sendi.
- Mengurangi
sirkulasi,mencegah iritasi kulit.
· -
Memobilisasi sekresi,memperbaiki ekspansi
paru dan menurunkan risiko komplikasi paru.
· -
Mempertahankan kelenturan sendi, mencegah
kontraktur dan membantu menurunkan tegangan otot.
·
Meningkatkan energy dan perasaan sejahtera.
|
3) Kurang perawatan diri berhubungan
dengan gangguan persepsi atau kognitif (akumulasi toksin);intoleransi
aktivitas;penurunan kekuatan dan ketahanan terhadap nyeri.
Intervensi
|
Rasional
|
- Tentukan
kemampuan pasien untuk berpartisipasi dalam aktivitas perawatan.
- Dorong
untuk menggunakan teknik penghhematan energy, misalnya duduk, mandi duduk
(tidak berdiri).
- Berikan
bantuan dengan aktivitas yang diperlukan.
|
- Kondisi
dasar akan menentukan tingkat kebutuhan.
- Menghemat
energy,menurunkan kelelahan dan meningkatkan kemampuan pasien untuk melakukan
tugas.
- Memenuhi
kebutuhan dengan mendukung partisipasi dan kemandirian pasien.
|
D.
Evaluasi
1). Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan gangguan gastrointestinal (akibat uremia);anoreksia;mual
muntah;pembatasan diet
Hasil yang diharapkan: Menunjukan berat badan stabil atau
peningkatan mencapai tujuan dalam nilai laboratorium normal dan tidak ada tanda
mallnutrisi.
2). Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan terapi
pembatasan, penurunan kekuatan/kelemahan;gangguan musculoskeletal;gangguan
presepsi atau kognitif.
Hasil yang diharapkan: Mempertahankan mobilitas atau fungsi yang optimal;menunjukan
peningkatan kekuatan otot;dan bebas dari komplikasi.
3). Kurang perawatan diri berhubungan dengan gangguan
presepsi atau kognitif (akumulasi toksin);intoleransi aktifitas;penurunan
kekuatan dan ketahanan terhadap nyeri.
Hasil yang diharapkan: Berpartisipasi pada aktifitas sehari-hari
dalam tingkat kemampuan yang diperbolehkan.
BAB III
PEMBAHASAN JURNAL
PEMBAHASAN JURNAL
3.1 Jurnal Terkait Hemodialisis
3.1.1
Jurnal dengan Judul “Hubungan Umur dan Lamanya Hemodialisis dengan Status Gizi
pada Penderita Penyakit Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di RS. Dr. M.
Djamil Padang”
Desain penelitian ini ialah “Cross Sectional Study” yang dilakukan pada bulan Juni 2013 –
Oktober 2013 di Unit Hemodialisis di RS. Dr. M. Djamil Padang. Kriteria inklusi
adalah semua penderita PGK yang menjalani hemodialisis. Kriteria eksklusi
adalah penderita yang menolak ikut penelitian, penderita dengan keadaan yang
tidak memungkinkan diperiksa BB, TB, LiLA dan Skin Fold misalnya sesak nafas,
kesadaran menurun dan lain-lain. Data diolah dan dianalisis dengan menggunakan
program SPSS.
Pada penelitian ini didapatkan umur termuda 22 tahun dan
tertua 75 tahun dengan rata-rata umur 52,39 ± 10,39 tahun. Rentang usia
terbanyak didapatkan pada usia 50-59 tahun yaitu sebesar 50,86%. Keadaan ini
sesuai dengan gambaran umum penderita PGK yang menjalani hemodialisis di
Indonesia, seperti juga dilaporkan IRR pada tahun 2011 mendapatkan sebanyak 89%
penderita PGK yang menjalani hemodialisis berumur 35-70 tahun dengan kelompok
umur terbanyak 45-54 tahun yaitu 27%.
Pada penelitian ini didapatkan 36 orang (61,01%) laki-laki
dan 23 orang (38,99%) perempuan, yang laki-laki berbanding perempuan = 1,6 : 1.
Gambaran ini hampir sama dengan penderita PGK yang menjalani hemodialisis di
Indonesia. Di Indonesia pada tahun 2011, terdapat sebanyak 6951 orang penderita
PGK menjalani hemodialisis, terdiri dari 4180 orang laki-laki dan 2771 orang
perempuan, atau laki-laki berbanding perempuan 1,5 : 1.
Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara status gizi dengan umur, baik yang penilaian status gizinya dengan
Skinfold maupun LILA (p>0,05).
Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara status gizi dengan lamanya hemodialisis, baik penilaian status gizinya
dengan Skinfold maupun LILA (p>0,05).
3.2 Jurnal Terkait Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD)
3.2.1
Jurnal dengan Judul “Kejadian Peritonitis Pada Pasien Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis: Identifikasi Mikroorganisme Dan Sensitifitas Antibiotik”
Penelitian ini menggunakan desain
studi potong lintang analitik, dengan menggunakan uji statistik one-way ANOVA, bertujuan untuk mengetahui berbagai macam
mikroorganisme yang berhubungan dengan kejadian peritonitis, sensitifitas dan
resistensi antibiotic pada pasien CAPD dengan komplikasi peritonitis.
Pada penelitian ini didapatkan 23
sampel dari 77 pasien CAPD yang mengalami komplikasi peritonitis, dengan rerata
umur 46,26 + 13,07 tahun, usia terendah 14 tahun, dan tertua 65 tahun. Jenis
kelamin laki-laki 15 orang, wanita 8 orang.
Pada penelitian ini, didapatkan peritonitis
sebagai komplikasi terapi CAPD pada ESRD, masih merupakan masalah yang perlu
menjadi perhatian, karena mengingat angka kesakitan yang tinggi, walaupun angka
kematian akibat peritonitis tidak ada.
Staphylococcus memiliki hubungan
yang kuat terhadap kejadian peritonitis dan dalam hal ini tetrasiklin merupakan
antibiotic yang memiliki sensititas tertinggi pada pasien dengan CAPD. Dari
hasil analisa cairan peritoneal menunjukkan skor antibiotik secara berurutan
dari yang paling sensitif: tetrasiklin dengan angka sensitifitas 22,93, ciproloxasin
19,36, piperacillin-tazobactam 17,36, trimetropin/sulfamethoxazole 16,5, fosfomicin
15,78 dan sisanya resisten. Pentingnya melakukan kultur pada cairan peritoneal
dialysisakan menurunkan angka kesakitan.
Berdasarkan rekomendasi dari
International Society Peritoneal Dialysis oleh Piraino, et al.
pemberian terapi antibiotik pada
episode peritonitis pasien CAPD minimum selama 2 minggu, apabila kondisi berat,
antibiotik dapat diberikan selama 3 minggu. Pada panduan tersebut pemberian
antibiotic selain pada terapi peritonitis, juga dapat diberikan sebagai terapi
preventif peritonitis pada pasien peritoneal dialisis.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Hemodialisa adalah salah satu
terapi pengganti ginjal yang paling banyak dipilih oleh para penderita Gagal
Ginjal Kronik. Pada prinsipnya terapi hemodialisa adalah untuk menggantikan
kerja dari ginjal yaitu menyaring dan membuang sisa – sisa metabolisme dan
kelebihan cairan, membantu menyeimbangkan unsur kimiawi dalam tubuh serta
membantu menjaga tekanan darah.
2.
Peritoneal dialysis adalah suatu proses
dialysis di dalam rongga perut yang bekerja sebagai penampung cairan dialysis,
dan peritoneum sebagai membrane semi permeable yang berfungsi sebagai tempat
yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan & solute yang berisi racun yang
akan dibuang. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang
menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Peritoneal dialysis dibagi
menjadi APD dan CAPD.
4.2 Saran
Dengan mengetahui konsep manajemen hemodialysis dan CAPD
(Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis) diharapkan perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan dan pendidikan kesehatan yang sesuai untuk klien.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.,. J.,.(2000) Diagnosa Keperawatan: Aplikasi pada Praktek
Klinis Edisi 6. Jakarta: EGC
Doenges,M.E., Moorhouse, M.F.,
Geissler.(1993). Rencana Asuhan
Keperawatan untuk perencanaan dan pendukomentasian perawatan Pasien Edisi-3.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Haryanti, E.,. et al.(2010). Jurnal Penyakit Dalam: Kejadian Peritonitis
Pada Pasien Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis: Identifikasi
Mikroorganisme dan Sensitifitas Antibiotik vol 11 no 2. Diakses pada
tanggal 30 Desember 2014 dari http://ojs.unud.ac.id
Hudak, Gallo.(1996). Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik,
Volume II. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Mutaqin, Arif. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Price, Sylvia Anderson. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Ed. 6. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Rahardjo, Puji.(2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi
III. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Soeparman & Waspadji, S.,.(1998).
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI
Syaiful, Hannie, Q.,. et al.(2014). Jurnal Kesehatan Andalas: Hubungan Umur dan
Lamanya Hemodialisis dengan Status Gizi pada Penderita Penyakit Ginjal Kronik
yang menjalani Hemodialisis di RS. Dr. M. Djamil Padang. Diakses pada
tanggal 30 December 2014 dari http://fk.unand.ac.id
0 komentar:
Post a Comment